Sunday, September 6, 2020

SUDUT PANDANG: FILM TILIK 2020

Awal Agustus 2020 di tengah pandemi Covid-19 dunia perfilman dan masyarakat Indonesia dikejutkan dengan viralnya sebuah film pendek yang sedang booming yaitu film berudul Tilik. Film ini cukup suskes memikat hari penonton karena dialog-dialog yang digunakannya sangat natural dan njowo. Bahkan sesaat setelah film itu booming melalui YouTube langsung netizen membuat banyak sticker dan poster yang menggambarkan potongan-potongan dialog dari tokoh utama film tersebut yaitu Bu Tejo berseliweran.

Salah satu poster yang dibuat oleh Netizen
Sumber: Google

Penulis ingin membahas apa sebenarnya "tilik" itu dalam sudut pandang bahasa dan istilah. Kebetulan penulis merupakan warga asli Jawa Timur, sehingga kemudian menjadi terbesit pemikiran bahwa memang kenyataannya kalau di Jawa Timur istilah “tilik” itu tidak familiar untuk menyebut "menjenguk", warga Jatim secara luas lebih suka memakai istilah “sambang” untuk mengganti istilah jengukan baik terhadap orang sakit atau bayi baru terlahir misalnya.

Saya berikan contoh penggunaan sehari-hari misalnya seperti ini, “Mbak, ayuk nyambangi bayine bulik Juwariyah yuh” yang berarti mbak, ayo menjenguk bayinya tante Juwariyah. Atau dalam contoh lain dengan logat Suroboyoan mungkin begini, “Bro, kapan kate nyambangi Dul Kamid? Areke dirawat ndek rumah sakit jiwa lho” yang berarti Bro, kapan akan menjengeuk Dul Kamid? Dia dirawat di rumah sakit jiwa lho.

Penulis sebelumnya sudah mengenal istilah “tilik” saat masih kerja di Bekasi, Jawa Barat. Karena banyak circle penulis yang kebetulan berasal dari Jawa Tengah dan khususnya Yogyakarta. Memang di Jateng secara umum memakai istilah “tilik” sebagai kata ganti jenguk.

Saya akan berikan contoh penggunaan istilah "tilik" ini di Jateng atau Yogyakarta, misalnya begini dalam dialek Banyumasan, "Kang rika wis tilik mbah lurah apa urung? Mbah lurah dirawat aring rumah sakit lho kang" yang berarti Mas kamu sudah jenguk mbah lurah apa belum? Mbah lurah dirawat di rumah sakit lho mas. Atau dalam dialek Yogyakartaan misalnya "Dek, kapan tilik mbak yu, wis dirawat telung dino mosok awakdewe urung tilik" yang berarti Dek, kapan menjenguk kakak, sudah dirawat tiga hari masa kita belum jenguk.

Padahal sekali lagi istilah "tilik" di Jawa Timur itu akan identik dengan mencicipi. Misalnya begini, “sik njajal tak tilikane rasane wis pas opo urung”. Yang kurang lebih berarti, “sebentar coba saya cicipi rasanya sudah pas apa belum”. Begitu kira-kira. Bisa dan mudah membedakannya kan?

Media sosial itu memang sangat luar biasa bisa mengubah dunia, dari yang sebelumnya orang tidak paham kultur daerah liyan menjadi paham dan sedikit mengerti sehingga kemudian akan menambah wawasan. Sekat-sekat antar daerah dan wilayah dapat teratasi oleh hadirnya media sosial. Sudah berapa banyak kemudian pertukaran sosial budaya di negeri Indonesia yang beragam ini terjadi akibat dari hadirnya media sosial? Mari gunakan media sosial untuk hal yang positif dalam kehidupan kita.

No comments:

Post a Comment