Saturday, May 7, 2022

MEMORI: LEBARAN IDUL FITRI DI TANAH LAHIR

Memoar Lebaran Idul Fitri Masa Kecil

Sebantar lagi bulan ramadan di tahun ini akan meninggalkan kita semua dan jika masih diberi kesehatan dan umur panjang kita akan segera sampai pada bulan syawal. Bulan syawal dalam budaya keislaman di Indonesia lebih akrab di kenal sebagai lebaran idul fitri. Semua orang mungkin bersuka cita dengan sampainya diri mereka pada 1 syawal karena akan ada banyak senyum di mana-mana.

Masyarakat urban yang pada umumnya adalah para perantau di seluruh kota-kota besar di Indonesia bersiap diri untuk pulang kampung ke tanah kelahiran. Budaya mudik sudah menjadi semacam ritual wajib di setiap tahunnya di Indonesia ini, bahkan jika merujuk pada literatur yang ada ternyata budaya mudik lebaran ini sudah ada dari zaman Majapahit dan mulai marak di zaman Mataram Islam.

Dalam catatan para sejarawan disebutkan dahulu kala saat Majapahit menguasai berluas-luas wilayah nusantara ini, banyak para pejabatnya dari Jawa yang ditugaskan untuk mengemban jabatan tertentu di suatu wiayah yang jauh di luar Jawa. Saat momen tertentu para pejabat ini pulang ke Jawa untuk memberikan annual report ke pada raja serta tak lupa dijadikan momen untuk mengunjungi sanak keluarga di tanah lahirnya.

Begitu pun saat era Majapahit sudah runtuh dan tergantikan oleh era kekuasaan Mataram Islam, para pejabat-pejabat Jawa yang ditugaskan di berbagai belahan Nusantara pun secara spesifik memanfaatkan hari raya idul fitri sebagai momen untuk pulang kampung dan bersuka cita. Sehebat apapun dan setingginya jabatan di luar daerah, tetap saja pulang kampung untuk tujuan bersilaturahmi adalah sebuah cita-cita semua perantau. Bagaimanapun setidaknya ada kesempatan untuk pamer pencapaian atau keberhasilan barangkali, eh.

Begitulah mula-mula sejarah tradisi mudik di Indonesia ini yang bahkan hingga kini di zaman modern ternyata masih terus dilanggengkan. Meski begitu beberapa kali pasca kemerdekaan, otoritas pemerintah pernah membatasi mobilitas warga utamanya di hari mudik seperti ini. Sebagai contohnya saat momen sulit di awal kemerdekaan yang menuntut warga untuk dalam posisi siaga akan agresi militer Belanda, pemerintah pernah melarang mudik.

Kemudian di era tahun 65-an saat menegang suasana yang oleh sejarah disebut sebagai pemberintokan PKI saat itu, juga tercatat pemerintah pernah membatasi warganya untuk bermobilitas dalam rangka mudik lebaran. Hingga setelah orde baru mendapuk kekuasaan negeri ini berangsur ekonomi tumbuh pesat di perkotaan yang menyebabkan tradisi mudik makin menggila karena banyaknya kaum urban di perkotaan.

Di dekade 2000-an saat ini mudik masih tetap menjadi ritual wajib bagi perantau di kota-kota besar. Jika kita melihat berita baik di layar televisi atau media online lainnya, lihat lah betapa berita bertajuk mudik lebaran akan selalu menghiasi hari-hari menjelang dan pasca hari H lebaran ini. Jakarta sebagai barometer ekonomi nasional tentu memegang kendali arus utama terjadinya mudik lebaran.

Suasana Lebaran Idul Fitri 1443H di kampung halaman

Bicara lebaran penulis mengingat masa-masa kecil dulu saat di kampung halaman, lebaran sebagai hari raya benar-benar dirasakan oleh penulis sebagai momen terbahagia di setiap sepanjang tahun. Ada baju, celana, sandal baru dan tentu uang saku yang dinantikan oleh penulis di kala kecil dulu saat momen lebaran idul fitri. Pun tak lepas juga tradisi saling bersilaturahmi dari rumah ke rumah, menjadi memoar yang sangat sulit dilupakan.

Penulis memiliki kenangan yang sangat bahagia di waktu kecil dulu saat di mana momen lebaran dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi sunah nabi yaitu bersilaturahmi dengan sanak kerabat dan keluarga. Kebetulan penulis terlahir dari orang tua generasi baby boomers yang memiliki jumlah saudara berlimpah. Kakek penulis dari jalur ayah saja memiliki saudara sebanyak 6 orang yang terdiri dari Mbah Naim, Mbah Karno, Mbah Sakri, Mbah Abu Sairi, Mbah Kusmik, Mbah Sripatun. Tentu dengan total keturunanya menjadi jumlah yang besar.

Belum lagi ayah penulis sendiri memiliki saudara kandung yang cukup banyak, dari jalur ibu juga sama halnya sangat banyak sekali dulurnya-dulurnya. Sehingga boleh dikatakan bahwa penulis lahir dari keluarga yang sugih dulur (kaya akan sanak keluarga). Jika merujuk pada jumlah dulur yang ada tercatat selama masa kecil penulis, untuk bisa bersilaturahmi secara 'kemput' alias lengkap dibutuhkan sedikitnya waktu 5 hari untuk alokasi berkunjung dari rumah ke rumah.

Rute anjang sana anjang sini yang ditempuh oleh penulis saat kecil dulu tentu adalah dimulai dari kerabat terdekat sekitar kampung. Pasca sholat idul fitri di masjid dekat rumah dan melihat remaja masjid merayakannya dengan nyumet merconan, umumnya penulis melanjutkannya dengan silaturahmi ke mbah-mbah dan tetangga di seperempat dusun (3 RT) di mana tempat lahir penulis. Waktu yang dibutuhkan tentu dari pagi hari hingga siang menjelang matahari tegak lurus.

Suasana Anjang Sana-Sini Bersilaturahmi Setelah Sholat Id

Kemudian sore atau malam harinya berlanjut ke kerabat beda dusun, ke guru ngaji, dan seterusnya hingga malam hari. Setelah seharian muter untuk bersilaturahmi tentu malam hari menjadi waktu yang pas untuk mengistirahatkan badan dan bersiap melanjutkan agenda di hari kedua dan seterusnya. Lebaran benar-benar menjadi momen untuk mengikuti tradisi baik dalam nilai islami yaitu menjalin ukhuwah islamiyah dengan bersilaturahmi.

Doktrin dalam islam cukup kuat bahwa silaturahmi itu memperpanjang usia, memperbanyak rezeki, dan merekatkan ikatan batin. Nilai-nilai kebaikan seperti ini yang seharusnya terus dilanggengkan dan diwariskan ke anak-anak generasi selanjutnya. Tapi apakah mungkin di zaman yang serba digital ini tetap menggunakan cara lama dengan bersilaturahmi door to door? Padahal generasi saat ini dan nanti akan semakin dimudahkan dengan adanya sarana komunikasi yang serba canggih terdigitalisasi?

Pertanyaan di atas patut diseriusi jika kita masih peduli dengan tradisi anjang sana anjang sini di lebaran idul fitri seperti yang penulis kisahkan. Penulis pikir media komunikasi yang canggih itu hanya sekadar membantu saja untuk lebih memudahkan dalam berkomunkasi, dan tentunya tetap saja tidak mampu menggantikan tardisi door to door yang penuh dengan kehangatan itu. Lebaran idul fitri di setiap tahunnya akan tetap menjadi momen yang ditunggu siapapun di Indonesia.

Selamat mudik dan merayakan idul fitri bersama dengan keluarga tercinta di kampung halaman masing-masing. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan baik jasmani, rohani dan ekonominya untuk kemudian bisa berjumpa lagi dengan ramadan dan lebaran tahun depan. Tentu dengan harapan lainnya yaitu semakin menjadi manusia yang lebih baik. Amin.

Salam hangat,
Malang, 30 April 2022