Monday, April 30, 2018

Pelayanan Wagu (Aneh): Kondektris KAI

Bincang-bincang soal pelayanan moda transportasi di Indonesia sepertinya menjadi topik yang cukup menarik untuk disimak oleh anak muda, khususnya moda transportasi kereta api di bawah naungan dan monopoli satu perusahaan plat merah kita yaitu PT. KAI. Terlihat jelas semakin hari tertunjukkan geliat perubahan demi perubahan yang signifikan baik dari sisi kualitas pelayanannya itu sendiri atau dari sisi kuantitas perjalanan sebagai jawaban atas tingginya okupansi relasi antarkota khususnya di Pulau Jawa.

Sejarah mula-mula begini ceritanya, perkerataapian di Indonesia ditandai dengan pengambilalihan kereta api dari kekuasaan Jepang, pada tanggal 28 September 1945 diiringi dengan pembacaan dan pernyataan sikap oleh sejumlah karyawan perusahaan kereta api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) dan Ismangil (tokoh AMKA). Pada hari itu juga kekuasaan perkeretaapiaan sudah berada di tangan bangsa Indonesia sehingga jepang sudah tidak memiliki hak untuk campur urusan terhadap perkeretaapian di Indonesia.

Dilandasi pengambilalihan kekuasaan itu, hari Kereta Api ditetapkan pada tanggal 28 September 1945 serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Semasa orde lama nama DKARI berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Lalu, pada tanggal 15 September 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Kemudian lagi pada tanggal 2 Januari 1991 PJKA kembali berubah nama menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).

Pada tanggal 1 Juni 1999, Perumka mulai menunjukan keterbukaannya dan berubah menjadi PT. Kereta Api (Persero). (PT. KA). Pada bulan Mei 2010 di bawah leadership Ignasius Jonan kala itu nama PT. KA berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) (PT. KAI) hingga sekarang. Perkeretaapian di Indonesia sama halnya seperti perubahan namanya mengalami perubahan dari sisi infrastrukrur, fasilitas dan layanan agar dapat menjadi lebih baik lagi tentunya.

Hasrat peningkatan dari pelayanan kereta api merupakan kemauan dan juga keinginan berbagai pihak, utamanya konsumen tentunya. Hal ini dikarenakan kereta api adalah transportasi masal yang mampu mengangkut banyak penumpang secara bersamaan melebihi pesawat terbang dan juga harganya yang cukup terjangkau oleh kalangan mayoritas masyarakat Indonesia, walaupun dalam rentang waktu, kereta api membutuhkan lebih banyak waktu dalam sekali perjalanan dibandingkan saat memilih menggunakan pesawat terbang.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini, tidak menjadi masalah jika harus memilih menggunakan moda transportasi kereta api. Meskipun kita ketahui bersama tidak mudah pula prosedur mulai dari awal pembelian tiket hingga sampai pada titik naik kereta api itu sendiri. Moderenisasi pembelian tiket menggunakan aplikasi online dan juga cara membayar via transfer ataupun pembelian langsung di agen resmi sebut saja minimarket misalnya, tentu ini menjadi hal yang bisa dipandang dua sisi. Antara mempermudah konsumen dan bisa juga dipandang menyulitkan bagi mereka yang gagap teknologi seperti kalangan usia sepuh tentunya.

Mari penulis ajak untuk menuju ke persoalan inti sesuai judul tulisan ini yaitu pelayanan "wagu" kondektris KAI. Wagu itu istilah dalam bahasa Jawa, jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti aneh, gak pada umumnya, atau berbeda. Silakan pilih padanan kata yang sesuai dengan selera masing-masing. Intinya "wagu" itu aneh.

Merujuk pada detail SOP (Standard Operation Procedure) untuk kondektris keluaran resmi PT. KAI disebutkan banyak hal terkait apa saja yang menjadi kewajiban kondektur/kondektris dalam melaksanakan tugasnya. Oh iya ngomong-omong kondektris itu merupakan sebutan untuk kondektur jika dia berkelamin wanita (petugas awak kereta api wanita). Ada satu bunyi SOP yang kurang lebih esensinya adalah ada kewajiban bagi kondektur/kondektris untuk lakukan cek tiket saat perjalanan kereta api telah dimulai selambatnya sepuluh menit setelah kereta api diberangkatkan dari stasiun awal. Poin ini yang ingin penulis coba pertanyakan dalam tulisan sederhana ini.

Hari ini, 30 April 2018 penulis melakukan perjalanan (sebut saja mudik) dengan kereta api dengan relasi Stasiun Pasar Senen - Stasiun Malang menggunakan kereta api Majapahit yang diberangkatkan dari stasiun Pasar Senen tepat pukul 18.15 WIB. Mula-mula tidak ada persoalan yang bagi kaca mata penulis terlihat "wagu". Sama sekali tidak ada kewaguan saat kereta diberangkatkan hingga sampailah pada kurang lebih sepuluh menit sesaat setelah kereta api diberangkatkan.

Kebetulan penulis duduk di kereta nomor lima dengan nomor kursi 7D. Di kursi nomor 7A yang berseberangan dengan penulis terdapat seorang penumpang yang pada akhirnya diketahui beliau adalah aparatur negara yang dalam hal ini beliau adalah anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia). Keanehan itu terjadi dan dialami pada bapak TNI ini, saat semua penumpang didiamkan oleh kondektris yang saat itu lakukan cek tiket, bapak TNI ini justru bukan sekedar diminta untuk menunjukkan tiketnya. Tapi juga sekaligus ada permintaan dari kondektris untuk menunjukkan KTP. Di sini letak kewaguan itu.

Kembali merujuk pada SOP kondektur/kondektris tadi tentunya hal ini merupakan bentuk penyimpangan dari detail tugasnya. Tidak ada penjelasan yang mengharuskan penumpang untuk menunjukkan KTP dan disesuaikan dengan tiket yang dipegang oleh penumpang. Dalam kasus yang penulis lihat itu minimal ada tiga hal yang harus dicermati dan dijadikan pekerjaan rumah oleh PT. KAI dalam melayani konsumennya. Khususnya tentu terkait evaluasi job deskripsi para kondektur/kondektrisnya.

Pertama, kenapa harus ada cek kesesuaian KTP dengan tiket dan itu dijalankan oleh kondektris secara sampel acak? Alias tidak kesemua penumpang diperlakukan sama? Bagaimana dengan perasaan bapak TNI tersebut? Tanpa harus melebaikan masalah ini penulis pikir ini bentuk diskriminatif yang nyata. Jika beralasan itu adalah prosedur yang harus dijalankan oleh kondektris tersebut sesuai SOP. Pertanyaannya SOP poin yang mana?

Kedua, saat sudah memasuki dan kereta api  telah berjalan, tujuan atau fungsi cek kesesuaian KTP dan tiket itu untuk apa? Jika beralasan ini adalah bentuk pencegahan dan sekaligus untuk keamanan serta kenyamanan penumpang, bukankah saat memasuki peron saja sudah dilakukan validasi pengecekan kesesuaian KTP dengan tiket calon penumpang oleh petugas pintu masuk peron? Halo? Kenapa harus ada pekerjaan dobel yang seribet ini? Kondektris yang rata-rata bergaji enam juta rupiah tersebut kurang job deskripsikah? Apa ini semata-mata karena budaya kita memang ribet dan berbelit-belit di urusan birokrasi? Please generasi milenial harus pangkas budaya njelimet ini.

Ketiga, jika saat membeli tiket saja sudah harus menyertakan nomor induk KTP (saat ini mayoritas sudah E-KTP yang databasenya tentu valid) dan pada akhirnya tercantum di tiket? Bukankah yang dilakukan kondektris tadi bukan lagi sekedar dobel cek? Melainkan itu sudah triple cek (validasi ketiga)? Coba hitung sendiri. Jika pembaca memilih menggunakan moda transportasi pesawat terbang misalnya, mana ada cek validasi seribet ini? Bener kan? Ayolah KAI benahi sistem ribet ini. Cukup sekali validasi di pintu masuk peron, penulis pikir itu sudah lebih dari cukup. Jangan biasakan budaya ribet birokrasi seperti ini berlanjut pada generasi milenial. Ribet itu cukup miliknya generasi orde baru saja deh. Eh.

Terlepas dari persoalan kecil yang penulis sajikan tersebut di atas tentu upaya PT. KAI dalam menunjukkan keinginan dan gairah berbenah dalam pelayanan patut diapresiasi. Konsumen hanya bisa mengkritisi tentu dengan masukan sumbangsih saran dan juga kritikan yang semata-mata bertujuan agar PT. KAI semakin lebih baik dan lebih baik lagi ke depannya. Sekali lagi pesan penulis adalah, hilangkan prosedural birokrasi ribet tersebut dan cari serta ganti dengan sistem yang lebih ringkas tanpa mengurangi substansi tujuan validasi tiket dengan penumpang tersebut.
Oh iya, sekali lagi benar-benar "wagu" bukan?

Waallahu a'lam bisshowab.
(Allah-lah yang segala maha mengetahui).

Sunday, April 22, 2018

Analisis Politik 2019: April 2018

Peta politik 2019 semakin jelas dan terlihat sangat gamblang sekali, meskipun sebenernya terlalu dini jika harus menilainya dan menyimpulkan di hari ini. Karena politik itu selalu bersifat dinamis dan penuh gejolak perubahan. Setidaknya boleh lah kita berandai-andai dahulu untuk sedikit ikut meramaikan kontestasi politik tahun 2019 nanti.

Kita ketahui bersama hari ini mesin politik resmi Prabowo baru dua yaitu PKS dan Gerindra. Meskipun PAN dan Demokrat cukup konsisten berada di pihak Prabowo, nyatanya sampai saat ini untuk sementara PAN dan Demokrat masih ragu akan merapat ke kubu siapa. Belum ada pernyataan resmi dua partai ini mendukung siapa. Catat gih.

Sementara, Jokowi hari ini dengan mesin politiknya yang sangat besar dan super raksasa, ada PDI P, PPP, PKB, NASDEM, HANURA, GOLKAR sudah sangat jelas terlihat gagah dan bukan lagi berpotensi menang, tapi sangat besar peluangnya untuk menyudahi duel politik tahun depan. Meskipun kita tidak boleh juga sih meremehkan militansi dua partai pengusung  Prabowo yaitu PKS dan Gerindra ini. Kita ketahui bersama PKS khususnya memiliki militansi ala-ala taliban dan juga ikhwanul muslimin dalam berpolitik.

Lantas logikanya bagaimana di 2019 nanti? Pada kontestasi politik tahun 2014 yang didukung mesin politik besar/mayoritas saja Prabowo kala itu kalah oleh Jokowi yang didukung koalisi kecil. bagaimana nanti 2019 yang berlaku sebaliknya yaitu Jokowi yang didukung mayoritas partai besar sementara mesin politik Prabowo sangat mini? Dalam kaca mata penulis, Prabowo bukan kalah lagi, tapi njeleput dan ajur mumur.

Alternatif paling rasional dan aman itu apa untuk Prabowo? Dalam pandangan penulis, alternatif ke tiga patut dipertimbangkan. Prabowo hendaknya mempertimbangkan untuk bersedia dengan jiwa kesatrianya menjadi calon wakil presiden Jokowi di 2019. Titik. Ingat sampai saat ini elektabilitas Prabowo masih di bawah Jokowi (survei poll tracking). Alternatif ke tiga ini masih sangat mungkin dilakukan mengingat sekali lagi politik itu dinamis. Bayangkan, jika dua kutub antara Prabowo dan Jokowi ini menyatu, insyaallah DAMAILAH INDONESIAKU. Alumni 212 di kemanakan jika seperti itu alternatif yang dipilih? Kirim ke gurun Sahara. Heuheu.

Pertanyaannya apakah Jokowi sudah menawarkan pada Prabowo untuk menjadi cawapresnya di 2019? Gus Romahurmuzy selaku pimpinan PPP sekaligus tim pemenangan Jokowi di 2019 belum lama ini menyatakan bahwa Jokowi sudah pernah menawarkannya pada Prabowo, meskipun dalam hal ini dibantah oleh elit Gerindra Fransiscus Xaverius Arief Puoyono.

Tapi apa dikata? Sekali lagi, Prabowo bertekad memilih untuk mendeklarasikan diri bersiap tarung di 2019 berkat iming-iming dan bombongan PKS dan alumni 212, juga tentunya para penasehat politiknya yang sangat mengagungkannya. Untuk kontek ini elit PKS yang juga penggagas tagar #2019GantiPresiden yaitu Mardani Ali Sera adalah orang yang paling optimis Prabowo menang telak. Kadang di sini saya pribadi merasa ingin ngempet ngguyu.

Sekali lagi, diusung banyak partai besar saja dulu kalah APALAGI NANTI MELAWAN MESIN POLITIK YANG SANGAT BESAR? Entahlah, au ah gelap. Hihihihi.

Bagaimana posisi buruh? Sudah jelas. Makin amburadul. Kenapa amburadul? Karena elit pimpinan buruh masih bersikukuh dengan dukungannya pada Prabowo. Padahal elektabilitas sementara menunjukkan Jokowi tetap masih unggul dibanding Prabowo hari ini kan? Bukankah dulu buruh punya agensi di PDI P? Sebut saja Rieke Dyah Pitaloka, Adian Napitupulu yang concern menyuarakan penderitaan buruh?

Kenapa bukan orang-orang ini saja yang dikelola oleh elit pimpinan buruh untuk membantu memposisikan buruh tetap beruntung di bawah pemerintahan saat ini? Penulis belum mengkajinya secara mendalam. Tapi besar kemungkinan elit pimpinan buruh akan kecele lagi di 2019. Amit-amit jangan sampai kecele lagi dah kalau bisa mah. Ya Allah lindungilah buruh. Amin.

Skema politik 2019 jika itu dirumuskan hari ini:
Prabowo (Gerindra - PKS)
VS
Jokowi (PDI P - PPP - PKB - NASDEM - HANURA - GOLKAR)

Sementara PAN, Demokrat, PBB dan lainnya masih malu-malu kucing belum secara resmi mendukung salah satu pihak. Mereka cukup culas dalam hal ini, terlebih PAN yang secara resmi masih tercatat berkoalisi dengan pemerintahan saat ini. Hanya sikap ideologis elit pimpinan partainya saja yang seakan-akan menolak pemerintahan (sebut saja Mbah Amin Rais yang selalu melancarkan kritik demi kritik pada pemerintahan, terakhir soal partai setan vs partai Allah), tapi kalau jabatannya di kementerian mah PAN mau banget (dalam hal ini Asman Abnur dari PAN ada di kabinet Jokowi). Ngeri bukan? Ups.

Kalau boleh beribarat mah, ibaratnya nanti Prabowo vs Jokowi itu seperti Persela lawan Juventus lah. Saya pribadi perpikir secara rasional saja, Persela vs Juventus itu di atas kertas ya menang Juventus. Andaikan bisa menang Persela pun mungkin faktor penyebabnya adalah hidayah dan mukjizat dari Allah SWT. Mau mengandalkan hidayah? Lha wong alumni 212 khususnya warga PKS itu istigoshah saja males kok ngarepin hidayah. Eh maaf nyeplos.

Sekali lagi ini hanya pandangan penulis semata, sangat mungkin ini mengandung unsur subyektifitas. Tapi penulis tetap berupaya menyajikan satu tulisan yang dikemas berdasarkan data dan fakta yang ada. Tulisan berbalas dengan tulisan, nyinyirin tulisan tanpa sanggup membalasnya dengan tulisan hanyalah perwujudan dari kekerdilan semata.

Bagaimana 2019 nanti? Silakan renungkan dari sekarang. Jawabannya ada di hati dan pikiran masing-masing dari kita.

Wallahu a'lam bisshowab (Sungguh Allah-lah yang maha mengetahui).

Bekasi, 22 April 2018
Robi Cahyadi

Tuesday, April 17, 2018

Hakikat Isra’ dan Mi’raj

Mi’rajkan kami dalam isra’ menujuMu Ya Rabb...

1. Muhammadku isra’ lalu mi’raj. Setelah sampai di puncak spiritualitas tertinggi di sidratul muntaha, Muhammadku menerima dua perintah. Yang satu untuk dirinya dan umatnya, dan yang satunya lagi khusus untuknya
2. Perintah yang pertama berkenaan dengan shalat. Inilah momen umat Muhammad untuk isra’-mi’raj mengikuti jejak sang Nabi. Lewat shalat kita jadi paham bahwa isra (perjalanan) itu bagian penting menuju mi’raj.
3. Ada yang shalatnya cuma isra’ tapi belum mi’raj. Shalat itu tangga naik ke langit. Makanya minimal sehari kita menaiki lima anak tangga menujuNya. Begitu terus sepanjang hidup kita. Sudahkah kita sampai di tangga terakhir?
4. Perintah berikutnya kepada Muhammadku, Muhammadmu dan Muhammad kita semua, adalah untuk kembali ke bumi, setelah berada pada puncak tertinggi Sidratul Muntaha. Mengapa?
5. Seorang tokoh konon pernah berujar. Nabi Muhammad mi’raj sampai pada Tuhan, dan lalu kembali lagi. Demi Allah, kalau aku sampai di sana, gak akan mau turun lagi!
6. Kitapun mungkin begitu juga. Bukankah kita ingin sampai padaNya? Namun kenapa Allah justru perintahkan sang Nabi untuk kembali turun ke bumi? Begitulah tugas seorang Nabi, beliau harus berada di tengah umatnya. Bukan hanya asyik-masyuk dalam puncak spiritualitasnya
7. Untuk apa mengalami pencerahan tertinggi jikalau hanya dirimu yang tercerahkan? Sang Nabi diminta turun kembali untuk berbagi pencerahan menebar rahmat ke penjuru alam. Itulah fungsi sang Nabi
8. Muhammadku berangkat isra’ dan lalu mi’raj hanya dalam waktu yang singkat. Bahkan dikabarkan saat kembalipun kasurnya masih hangat —ini saja ungkapan metafor yg dipahami para sufi dg amat menarik, tapi kapan-kapan saja kita bahas. Kita fokus pada waktu perjalanan saja
9. Dikabarkan dalam literatur bahwa sang Nabi menaiki kendaraan spesial, yaitu Buraq. Dengan kendaraan inilah Muhammadku bisa melakukan lompatan berkelipatan tak terhingga sehingga mampu menembus tingkatan langit
10. Dengan naik Buraq, ungkapan Sky is the only limit, tidak berlaku bagi sang Nabi. Beliau SAW tembus langit. Batas langit itu cuma fiksi, eh fiktif yah? Yah pokoknya gitu dehhh
11. Nah sekarang saya ingin ingatkan  kepada anda, bahwa Allah pun sudah sediakan semacam kendaraan Buraq untuk kita, agar hidup kita bisa lompat berkelipatan tak terhingga.
12. Kendaraan Buraq untuk kita adalah shalawat Nabi.
13. Saya ulangi: shalawat Nabi itu bagaikan Buraq bagi umat Muhammad untuk melakukan perjalanan (isra’) dan kemudian mi’raj.
14. Saya ulangi sekali lagi: jika kita hendak sampai pada Nabi Muhammad, Malaikat dan Allah, jadikanlah shalawat sebagai kendaraan kita dalam berjalan menujuNya
15. Jika shalat kita belum membawa kita untuk mi’raj meski anak tangga sudah kita naiki berkali-kali, perhatikan bacaan shalawat kita saat shalat. Di sini kuncinya.
16. Jika hidup kita biasa-biasa saja dan belum menanjak ke tingkat berikutnya, perhatikan bacaan shalawat kita. Sudahkah kita memahaminya?
17. Bacalah shalawat, jadikan shalawat sebagai Buraq, dan jangan terkejut kalau hidup anda tiba-tiba melejit, lompat berkelipatan, tak terhingga.
18. Ini hari Jum’at, 27 Rajab, dimana 15 abad lampau peristiwa isra-mi’raj terjadi. Mari yuk kita banyakin baca shalawat. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in

Nadirsyah Hosen
PCINU Australia & New Zeland