Monday, September 7, 2020

SUDUT PANDANG: MENYOAL IMIGRAN DI JERMAN

Saya membaca-baca berita DW Indonesia, salah satu portal paling terkenal di Jerman. Ada satu berita yang mengulas bagaimana saat ini pemerintah Jerman sedang galau. Apa yang digalaukan? Otoritas pemerintah di Jerman sana terpecah menjadi dua kubu dalam menyikapi gelombang arus imigran yang masuk ke Jerman. Ada persoalan serius yang menghambat akan tetapi ada juga hikmah kebaikan yang hadir dari kasus imigran ini.

Ilustrasi: Bendera Jerman dan Turki terpampang jejer di jalanan Kota Berlin
Sumber: google

Satu kubu mengatakan bahwa hadirnya imigran adalah berkah karena di tengah-tengah banyaknya jumlah imigran tersebut diyakini ada banyak tenaga terampil yang bisa diberdayakan untuk menggerakkan ekonomi, sosial budaya dan muaranya adalah kekuatan Jerman. Sebagai contoh saja, bagaimana Timnas sepakbola Jerman sukses berprestasi di kancah internasional berkat hadirnya para pemain keturunan imigran, Ozil dari Turki dan Boateng dari Ghana misalnya. Atau misalnya tumbuhnya sektor manufaktur otomotif karena marketnya semakin luas berkat hadirnya imigran.

Kubu yang lain menyebutkan sebaliknya, bahwa hadirnya imigran di Jerman hanya akan menghabiskan anggaran pemerintah dan ini tentu akan berdampak buruk pada roda ekonomi makro di negara tersebut.  Menurut CNN tercatat pada Juli 2020 ini pemerintah Jerman menggelontorkan anggaran senilai 3 milyar euro untuk menstimulus dan memberi tunjangan kepada imigran yang mayoritas berasal dari Timur Tengah tersebut. Selain itu ada sisa masalah misalnya kriminalitas yang tinggi dan ekonomi yang stagnan di perbatasan dan wilayah yang dihuni oleh banyak imigran, seperti kawasan Jerman Timur.

Dua kubu ini saling "baku hantam" perang pengaruh dan pendapat di meja senat (sekelas legislatif/DPR kalau di Indonesia). Jerman memang sejak 2009 membuka deras kran untuk imigran yang masuk ke negara mereka. Meski begitu sampai detik ini Jerman terus tumbuh berkembang dalam harmonis keragaman. Keanekaragaman sosial budaya mereka kemudian menjadi kaya dan meningkat drastis dari sisi varian. Tercatat pula tetap terjadi pertumbuhan ekonomi, di 2019 kemarin angkanya 0.6 % meski ini tercatat sebagai pertumbuhan paling lambat dalam sejarah ekonomi Jerman.

Saya kemudian membayangkan jika itu terjadi di Indonesia, apakah mungkin terjadi? Akan menjadi sebuah petaka pastinya karena memang negeri ini tidak cukup terbuka pada kelompok lain. Boro-boro membuka kran atau ruang untuk imigran, untuk sekedar menampung dalam waktu sementara pengungsi Rohingya saja misalnya terjadi kegaduhan sangat luar biasa di elit politik dan juga masyarakat. Ini semua tentu karena ketidaksiapan negeri ini mengakomodirnya jika benar-benar  sampai terjadi.

Begitu juga dengan sentimen keras mayoritas penduduk negeri ini yang paranoid sekali terhadap hadirnya kelompok liyan, misalnya dalam menyikapi hadirnya tenaga kerja asing, contohnya dari China yang baru-baru ini memanas di daerah Sulawesi Utara atau daerah lainnya di Indonesia. Kelompok demi kelompok mengaku mengatasnamakan nasionalisme kemudian mentah-mentah menolak semua skema itu. Dalam kasus terdekat adalah menyoal RUU Omnibus Law yang dianggap berpotensi menjadi masalah baru di Indonesia khususnya bagi kelas pekerja.

Kemudian kita semua akhirnya bisa menyimpulkan, memang kita ini tidak setara jika dibandingkan Jerman dalam segalanya dan banyak hal apapun. Utamanya cara berpikir yang terbuka dan sekuler yang menurut hemat penulis sebenarnya bisa dijadikan aset berharga di masa mendatang. Memang kenyataannya masih sulit mengembangkan cara pandang tersebut di masyarakat negeri yang dari dulu hingga sekarang masih berstatus berkembang ini.

No comments:

Post a Comment