Sunday, September 27, 2020

OPINI: INDONESIA DALAM PUSARAN COVID-19

Sudah lebih dari delapan bulan sejak ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi oleh WHO, sampai hari ini belum ada tanda signifikan menurunnya kasus di Indonesia. Dari situasi itu bahkan beberapa minggu lalu Presiden Joko Widodo secara khusus memerintahkan Luhut Binsar Panjaitan selaku menteri koordinator untuk melakukan percepatan pecegahan dan penanganan Covid-19. Target waktu yang diberikan kepada Luhut pun sangat singkat hanya sekitar 2 minggu saja. Kita semua wajib dukung percepatan penanganan ini.

Ilustrasi: Bermasker Untuk Cegah Covid-19
Sumber: Google

Sementara itu di lain sisi Menteri Kesehatan Indonesia dr. Terawan pun digadang-gadang oleh netizen sebagai menteri yang gagal menangani kasus ini meskipun ironisnya Presiden Jokowi tak kunjung mengambil sikap terhadap posisinya. Banyak warganet akhirnya berasumsi liar itu semua terjadi karena dr. Terawan yang berlatar belakang militer menjadikannya sulit disudahkan oleh Jokowi. Singkat cerita Jokowi dianggap tersandera oleh “militer”. Ini merupakan penyakit lama pemerintahan Indonesia peninggalan jaman Orde Baru.

Faktanya memang kita dalam pusaran Covid-19 yang sangat mengkhawatirkan, data statistik rilisan website resmi Satgas Covid-19 Nasional menyatakan per hari ini tanggal 27 September 2020 Indonesia masih berkutat di angka kasus sebanyak 271 ribu dengan jumlah angka kematian sebanyak 10 ribuan dan jumlah sembuh dinyatakan sebanyak 199 ribu. Tentu ini angka yang sangat mengkhawatirkan terlepas dari kontroversial di dalam valid tidaknya pengambilan data tersebut.

Ditambah realita terkini yang paling hangat dan sengaja diblowing-up oleh banyak kalangan adalah di saat semua unsur pemerintah dan masyarakat sedang berjibaku menghentikan laju penyebaran Covid-19, justru Jokowi menyatakan Pilkada tetap akan digelar sesuai rencana dengan protokol pencegahan Covid-19 secara ketat. Ini tentu memancing dua ormas keagamaan paling berpengaruh di negeri ini yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Reaksi keras disampaikan secara resmi oleh kedua ormas tersebut tapi pemerintah sepertinya bergeming. Mudah-mudahan masih tetap baik-baik saja, meski banyak diketahui jika dua ormas tersebut sudah bersuara itu adalah tanda negeri ini tidak baik-baik saja.

Dari rentetan problem demi problem dan kegagapan dalam rangka pencegahan dan penanganan Covid-19 tersebut terjadilah apa yang oleh penulis disebut sebagai paralelogram gaya pemikiran di tengah masyarakat. Maksud dari paralelogram di sini adalah betapa banyaknya asumsi liar yang bersifat bebas sembarang di tengah masyarakat luas yang sulit dikendalikan. Akibatnya tentu adalah terjadinya pertentangan opini di tengah masyarakat. Sebagai contoh riilnya akan coba dijelaskan penulis pada paragraf berikut ini.

WHO sebagai lembaga resmi dunia yang membidangi kesehatan menyebutkan bahwa cara terbaik menangani penyebaran Covid-19 adalah setidaknya dengan 3 cara yaitu: Bermasker, cuci tangan, jaga jarak. Ketiganya dianggap sebagai cara paling efektif sampai sejauh ini dan mungkin sampai vaksinnya benar-benar ditemukan. WHO yang dihuni oleh banyak intelektual (alim) di bidang kesehatan tentu tidak sekedar omong kosong belaka saat mengatakan bahwa ketiga cara itulah yang paling rasional untuk mencegah laju penularan Covid-19.

Akan tetapi tidak semua kelompok di negeri ini mampu menelaah dan memahami anjuran baik tersebut. Masyarakat dibuat bingung oleh adanya paralogram gaya pemikiran yang disebutkan oleh penulis tadi. Dalam kajian penulis setidaknya terdapat dua kelompok jenis panutan umat yang terpecah pemikirannya dalam menyikapi Covid-19 ini. Ada yang hati-hati sekali dan ada pula yang justru bersikukuh protokol kesehatan adalah omong kosong, begitu kira-kira dalam frustasinya.

Misalnya yaitu ada sekelompok alim (orang berilmu) seperti sebut saja KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan juga menantunya yaitu Gus Ulil Abshar Abdalla yang sangat pro terhadap himbauan WHO ini tentang pencegahan Covid-19. Bahkan secara spesifik Gus Ulil mengampanyekan agar “jangan sowan kyai dulu, mari ikhtiar cegah Covid-19”. Begitu ajakannya kepada umat/netizen/warganet melalui akun media sosialnya. Pemikiran seperti ini oleh penulis disebut sebagai ijtihad-ikhtiar centris.

Di lain sisi ada banyak pula ulama’ yang oleh penulis tidak bisa disebutkan satu persatu yang justru sebaliknya, memilih pandangan lain yang berbeda. Oleh penulis disebut sebagai ijtihad-tawakal centris. Singkatnya lebih banyak pasrah. Kelompok ini misalnya bersikukuh bahwa tidak selayaknya proses ibadah sebagai kebutuhan dasar hidup manusia/hamba dihambat dengan protokol-protokol pencegahan pandemi yang menyulitkan seperti himbauan WHO itu.

Seperti halnya di kampung-kampung dan pelosok pedesaan, kegiatan ritual peribadatan tetap berlangsung seperti biasa dan sangat ramai sekali misalnya pengajian-pengajian rutin dan seterusnya dengan mengabaikan protokol ketat pencegahan Covid-19. Seringnya berdalih bahwa takdir baik rezeki, kesehatan, kematian, sudah diatur oleh Allah SWT sehingga tak seharusnya Covid-19 menghambat ritual peribadatan. Ironis memang, tapi ini realita yang harus disampaikan agar semuanya menjadi terbelalak.

Dalam ilmu fisika kita semua mengenal bahwa setiap adanya dua atau lebih garis gaya yang berbeda arah (paralelgoram) tetap akan menghasilkan apa yang disebut dengan resultan (hasil) dari gaya-gaya yang berbeda gerak dan arah tersebut. Jadi meskipun di tengah masyarakat terdapat banyak sekali pandangan bebas sembarang, penulis tetap meyakini bahwa pada akhirnya nanti akan ada resultan atau konklusi dari semua itu. Setidaknya jika kita semua masih bersedia berpikir dan merenungi setiap kejadian.

Terakhir, kita semua tidak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Jadi sebagai warga biasa yang tidak memiliki daya apapun selain menyuarakan opini, penulis tetap mengajak kepada seluruh pembaca untuk mematuhi dengan benar prosedur pencegahan Covid-19 dengan seraya terus memohon doa dan ampunan kepada pemilik segala rencana yaitu Allah SWT. Semoga pandemi segera berakhir dan kita bisa menjalani hidup penuh kebahagiaan di masa mendatang. Aamiin. Wallahualam bisshowab.

Pagi cerah dengan langit indah
Malang, 27 September 2020
Robi Cahyadi

No comments:

Post a Comment