Friday, April 5, 2019

Hikmah: Latihan Kesabaran

Latihan Kesabaran; Sebuah Tulisan Menarik Dari Puthut EA


Seorang kiai yang sangat terkenal, memiliki seorang putri yang jelita. Banyak santri ingin melamarnya. Tapi belum ada yang pas di hati sang kiai.

Ada seorang santri yang agak mbejujak dari pesantren sebelah. Dia terpikat sama sang putri, tapi menyadari kalau dari jalur keturunan dan tingkat kealiman, bakal tak masuk ke kriteria sang kiai. Karena ketertarikannya yang kuat pada sang putri, dia memutuskan menjual barang dagangan apapun di rumah sang kiai. Dari mulai air galon, gas, sayur-mayur, beras, pokoknya semua jenis barang yang dibutuhkan keluarga tersebut. Dia membuat servis dengan cara mengantar langsung, sehingga punya potensi besar untuk melihat sang putri. Harganya pun dibikin semurah mungkin. Itu sebabnya, santri —yang supaya lebih mudah kisah ini saya paparkan, saya beri saja nama: Zul— langsung jadi langganan keluarga pak kiai.

Setiap hari, Zul selalu datang ke rumah pak kiai. Mengantar apa saja kebutuhan keluarga itu. Dari situ dia tahu hobi sang putri makan kol goreng. Zul yang awalnya tak suka kol tiba-tiba jadi penyuka kol goreng, sembari membayangkan nglethusi kol goreng bersama sang putri. Sebentar, supaya kisah ini lebih mudah lagi, saya kasih nama si putri dengan nama Esty. Tapi kok terkesan merujuk ke sosok tertentu ya. Saya ganti saja nama si putri dengan Niar.

Suatu saat, sang kiai mulai curiga. Kenapa Zul hanya mau menjual barang dagangannya ke rumahnya. Kiai kharismatik itu lalu menajamkan pengawasannya. Dan dia yakin, itu semua cuma persoalan asmara yang berkobar-kobar di dada Dinar, eh Zul.

Akhirnya, suatu sore, dipanggillah Zul menghadapnya. “Zul, aku ini pernah muda...”

Zul yang mengira dipanggil karena sang kiai sedang membutuhkan barang tertentu, langsung kaget.

“Aku tahu apa yang kamu lakukan setiap hari di sini. Kamu tidak murni jualan...”

Zul makin pucat.

“Begini saja, Zul. Kalau kamu bisa salat jamaah lima waktu setiap hari tanpa pernah terlambat, dan tidak absen selama 40 hari berturut-turut, kamu kujadikan menantuku.”

Mendengar itu, Zul langsung mencium tangan pak kiai. “Siap, Pak Kiai!”

Sepuluh hari pertama, benar-benar hari yang berat buat Zul. Tapi setiap kali dia malas, dia pun membayangkan bisa klethus-klethusan kol goreng bersama Niar, semangat santri mbeling itu pun terpompa.

Setelah lewat 10 hari, dia mulai merasakan kelezatan aktivitas itu. Damai. Tenang. Hatinya mulai lapang. 

Ketika lewat hari ke-20, dia mulai melupakan sang kiai. Sesekali saja dia ingat Niar dan kol goreng.

Ketika lewat hari ke-30, Zul sudah merasakan kenikmatan tiada tara. Kekhusyukan yang dalam. Ketenangan hati yang nyaris tiada tepi. Dia sudah benar-benar melupakan soal Niar, pak kiai, apalagi kol goreng.

Pada hari ke-40, saat Zul usai menunaikan salat Isya berjamaah, sang kiai sudah menunggunya di masjid. Dia pun mengajak bicara Zul. “Nak, kamu sudah lulus...”

Zul tersenyum. 

“Ayo Nak, kita ke rumah.”

“Acara apa, Pak Kiai?”

“Lho, aku nikahkan kamu dengan anakku.”

“Kenapa begitu?”

“Kamu sudah lulus selama 40 hari salat berjamaah di masjid, tanpa bolong dan tepat waktu.”

“Maaf, Pak Kiai. Saya tidak bisa. Saya tidak mau semua ibadah saya itu diganjar dengan dunia. Maaf...” Zul pun melangkah pergi.

Pak kiai segera menggamit lengan Zul. “Kalau begitu begini, Nak. Saya yang ingin memiliki menantu sepertimu. Lupakanlah soal ganjaran itu.”

Setelah terjadi beberapa dialog tambahan, akhirya Zul pun mau dinikahkan dengan Niar.

Kisah di atas tentu saja saya dengar dari Gus Baha’. Tentu saya tambahi. Kisah yang dituturkan Gus Baha’ itu berlatar belakang di Arab Saudi. Tapi kisah itu sangat terkenal, terutama untuk menjelaskan soal ini...

Bahwa tidak benar kalau laku ibadah mesti dimulai dari rasa ikhlas. Awalnya mungkin ingin dipuji orang, masih ada ujub, ada tujuan-tujuan tertentu. Tapi setelah dilakukan berulang kali, amal baik itu bisa menggiring ke arah kesejatian. Keikhlasan bukan turun begitu saja dari langit, tapi perlu latihan.

Jadi tidak perlu menghakimi niat orang. Sebab niatnya lurus atau tidak, tetap saja itu akan menuju ke kebaikan. Akan beriringan berjalan menuju ke cahaya kemuliaan. Ketidakbaikan yang mengiringi kebaikan, akan berguguran di jalan. Kalau dilakukan dengan telaten.

Note:
Foto ilustrasi ini hanya untuk pemanis saja.

No comments:

Post a Comment