Wednesday, November 28, 2018

Novita Nuraini; Pendamping Hidup Pilihanku

Nama lengkapnya Novita Nur'aini, biasa dipanggil Vivi oleh keluarganya, nama sayang lah ceritanya. Lahir di Blitar menjelang akhir tahun 1991 dari pasangan orang tua bernama Bapak Imam Maliki yang pernah (baca: pensiunan) berprofesi sebagai Tentara Nasional Indonesia dan Ibu Binti Hidayah (almarhumah) yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama. Ayahnya ini berasal dari Ponorogo, Jawa Timur dan ibunya juga asli Blitar, Jawa Timur. Intinya dia ini Jawa tulen, asli. Klop wis. Sesuai harapan almarhumah ibuku sendiri dalam wasiatnya yang selalu teringat dalam hati, "Golek bojo cah Jowo ae yo Bi, sing cedek-cedekan kene ae!".

Bicara soal perjalanan asmara dalam hidupku ini tentu sangat panjang dan berliku, ciyeileh, sejujurnya aku tak pernah benar-benar paham dengan diri sendiri apakah arti cinta yang sebenernya. Bila pun aku pernah dekat dengan beberapa wanita aku ndak pernah tahu apakah aku benar-benar mencintainya atau akhirnya kini aku tersadar dan kemudian meyakini bahwa itu semua bagian dari proses untuk menuju kedewasaan yang haqiqi. Siapa sangka wanita yang ku idamkan justru menikah dengan orang lain sementara wanita yang namanya ku sebut paling pertama di paragraf awal tulisan ini adalah yang akhirnya membuatku jatuh dalam petualangan cinta dan kini menjadi bojoku? Semua ini rahasia-Nya. Betul bukan?

Pertama kali aku bertemu dengan istriku ini yaitu menjelang lebaran idul fitri tahun 2017. Sebenernya kami cukup lama berkenalan tapi ya memang faktor jarak menyebabkan aku dan dia belum mungkin berjumpa tatap muka 2 SKS secara langsung. Hanya melalui obrolan dan tukar pikiran menggunakan fasilitas media sosial seperti G+, FB, IG, dan WhatsApp kami bisa saling tegur sapa dua tahun lamanya. Saat menjelang mudik lebaran 2017 kami saling bertanya kabar, singkat cerita hatiku tergerak untuk menemuinya. Sekitar dua hari menjelang hari raya idul fitri 2017 itu lah aku nekat jalan dari Kediri menuju Malang untuk menemuinya dan kemudian berakhir dengan mengantarnya pulang ke Blitar. Oh iya kebetulan sekali meski aslinya Blitar dia ini berprofesi sebagai tenaga pendidik (guru) di Malang.

Dalam pertemuan pertama kami waktu itu di bulan ramadhan, kami menyempatkan buka puasa bersama di emperan Indomaret karena waktu maghrib memang sudah tiba. Hanya minuman yang kami beli, dia memilih air mineral sementara aku memilih mogu-mogu yang ada manisnya tentunya. Kesan pertama saat bertemu ya hati ini bilang, "hangkrik, lanang po wedok sih arek iki?". Tapi tidak masalah sih, sudah kepalang tanggung jauh-jauh ke Malang, masa mau puter balik? Hello lu kata jarak Kediri-Malang sejengkal gitu kayak di atlas? Mending lanjut aja yang penting dia yang ku pahami selama ini asyik kok diajak ngobrol, wawasannya luas, smart city lah. Eh apaan sih smart city segala. Ya intinya dia seru gitu deh. Nyambung gak tekdung.

Setelah buka puasa dengan air mineral dan mogu-mogu lalu kami berdua menyempatkan sholat maghrib di mushola kecil di daerah Dinoyo, biasa dong kesan pertama bertemu masa iya gak nawarin buat sholat? Jaga image itu penting woooy. Disamping memang sholat itu kewajiban kan? Ya to. Selesai sholat maghrib kami berdua melanjutkan makan bakso malang di Jl. Mastrip Kota Malang, aku memilih makan mie goreng sementara dia bakso bakar khas Malang. Kami ngobrol ngalor ngidul panjang indefinetly alias tak terhingga, hingga akhirnya sampai juga pada pertanyaanku kepadanya, "Kamu itu sebenernya punya cowok gak sih? Mana mungkin jaman sekarang cewek seusia kamu ndak pacaran?", dia menjawab dengan jawaban yang sama dari sebelumnya, ya, sebelumnya juga sebelum bertemu aku sudah pernah menanyakannya. Jawabannya kurang lebih sama, "Dekat dengan cowok iya, tapi yang serius belum ada". Hening dalam senyum.

Tidak terasa waktu sudah semakin malam, aku harus mengantarnya pulang ke Blitar. Perjalanan dengan sepeda motor dari Malang ke Blitar melalui Kepanjen (Selatan) itu ndak cepat, butuh waktu kira-kira dua jam jika santai. Apalagi motor yang ku pakai kok ndilalah Honda BeAt kecil itu yang tidak progressif revolusioner, tidak terlalu bisa ngebut. Kira-kira jam setengah sembilan malam itu aku mboncengin dia menuju rumahnya di Blitar. Berhubung sudah lama sekali aku tidak pernah melalui jalur lintas selatan Malang-Blitar tentu sudah lupa arah-arahnya, dia banyak memberikan perintah harus belok ke mana dan ke mana hingga kemudian sekitar jam setengah sebelas malam itu sampailah di rumahnya Blitar. Awalnya aku menolak mampir ke rumah karena sudah malam, disamping jujur aja belum siap mental jika nanti ditanya-tanya macam-macam oleh Pak Purnawirawan Sersan Dua. Upsss.

Tapi takdir berkata lain, dia sedikit memaksaku untuk mampir, biasa lah yo budaya Jawa kan begitu ya selalu kedepankan unggah-ungguh. Aku pun juga berpikir ulang apakah iya pantas mengantar anak orang menjelang tengah malam begini dan membiarkannya sendirian masuk rumah? Tiba-tiba seperti ada malaikat berbisik, sudah lah mas bro masuk rumah saja, mampir sebentar ndak masalah siapa tahu dibuatkan teh hangat kan lumayan. Begitu kira-kira bunyi bisikannya. Akhirnya aku mampir dan kebetulan bapaknya alias sekarang bapak mertuaku itu pas ndak ada karena sedang rapat RT kalau ndak salah. Waini, alhamdulillah banget ini, cocok. Ndak ada pertanyaan nyeleneh iki bro. Hanya almarhumah ibu mertuaku yang nemuin dan beliau juga tidak banyak bertanya apa pun, mungkin beliau sudah ngantuk terlihat dari sorot matanya. Cocok wis. Aman, dalam hatiku. Setelah duduk dan ngobrol sebentar akhirnya aku pamitan pulang ke Kediri. Wussss. Sepanjang perjalanan pikiran dihantui dua pertanyaan: benarkah dia ini cewek dan masih jomblo? Kemudian pertanyaan ke dua, apakah aku tetap harus melanjutkan this journey? Mbuh lah, pikir sesuk maneh sing penting teko ngomah sik awak wis kesel.

Memasuki malam takbir idul fitri di tahun itu juga kami berdua masih chatting ngalor ngidul, jujur gue benar-benar tidak tahu harus bagaimana bersikap terhadap situasi seperti ini. Aku banyak bercerita kepada adik kandungku sendiri si bungsu Fatkhan, tentang wanita yang baru ku jumpai dan ku antar pulang ke rumahnya malam-malam itu. Fatkhan lah orang yang mendukungku dengan bahasa ledekan,  "yowis ditenani kono sopo ngerti kuwi jodomu,  wong lanang ki kudu percaya diri, mosok wis umur semene panggah ae ra wani karo cewek". Seperti itu kira-kira dukungan seorang adik untuk kakaknya yang sedang terlunta-lunta karena bingung memutuskan perkara asmara, weik. Eh tar dulu deh, sejauh ini lho aku belum yakin benar apakah aku sudah suka dia atau belum. Yang jelas tanda-tanda menyukainya mulai ada, hanya aku yang bisa meraskannya dong tentunya? Sepakat kan?

Akhirnya hari raya idul fitri hari ke empat malam hari aku meminta izin kepada dia untuk bersilaturahmi ke rumahnya. Sialnya baru jalan sampai Srengat, Blitar (separuh perjalanan) malah diguyur hujan lebat, deuh ujian apalagi ini. Ndak boleh ngeluh, jangan berkata kotor, sabar, aku tetap berpikir positif mungkin ini ujiannya orang yang sedang ingin mentas. Bismillah mawon. Sampai juga akhirnya di rumah dia, sebenernya waktu sudah tidak cukup bisa dibilang sore dan pantas untuk bertamu jika untuk ukuran di daerah seperti Blitar ini. Sudah hampir menunjukkan jam sembilan malam, maklum karena harus berteduh dulu dari hujan deras itu. Taraaaaaammmm. Benar juga, ayahnya langsung yang menyambut pertama kali saat aku mengucapkan salam di depan pintu rumahnya. Disusul dengan dia yang ikut nongol dari ruang tengah.

Mula-mula aku membayangkan sosok ayahnya ini sosok serem dengan gaya interogatif. Wajar kan pensiunan tentara republik Indonesia gitu, pernah ikut perang juga di operasi militer orde baru di Timor-Timur. Pikirku sebelumnya ya pasti serem galak begitu, tapi alhamdulillah ndak serem blas. Ndak ada tampang seremnya, beliau ramah sekali. Banyak senyumnya malah. Banyak obrolan yang bisa kami lakukan di malam yang penuh kehangatan itu. Saling tanya jawab wajar tentunya. Hanya saja di ujung obrolan kami justru pertanyaan tak teduga muncul, "Wis kenal karo Vivi suwi to mas? Sajake piye? Porayo tenanan?" Duh Gusti, pitakon opo maneh iki? Piye iki njawabe? Yowis lah bismillah ae pokok harus dijawab dengan tegas dan tidak cengeng, wong niate apik kok, "njih Pak, sedanten niki wau niatipun memang sae, sepindah silaturahmi pun panggih wilujeng, kaping kalih nyuwun pangestu njenengan mawon". Hening sejenak. Aku ngomong apa juga aslinya setengah sadar, di luar skenario, memang ini mungkin jalan-Nya. Aku pamitan pulang, bukannya seneng tapi malah galau apakah jawaban barusan tepat? Mbuh lah. Direnungkan nanti saja sambil tiduran kalau sudah sampai rumah.

Waktu terus berjalan, hari demi hari kami berdua lalui dengan tetap berkomunikasi secara normal, wajar, terstruktur, massif, sistematis dan baik. Sebulan setelah lebaran idul fitri 2017 itu aku dan kawan-kawanku memang sudah terencana naik gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Akhirnya kesempatan itu ku pakai lagi untuk meminta dia menemuiku di stasiun Kota Malang. Pikirku kala itu kalau dia mau menemuiku artinya ada kemungkinan dia juga interest with me. Benar akhirnya bertemu dan ngobrol seperti biasa, harapannya tentu menyambung komunikasi secara direct (langsung) lalu kemudian berpisah kembali karena harus bergegas ke Tumpang untuk melanjutkan trip. Di Ranukumbolo lah aku berdoa di tengan dinginnya malam, "Tuhan, jika dia memang baik untukku maka dekatkanlah". Kurang lebih seperti itu doanya. Tak lupa aku sempatkan mengirimkan foto selembar kertas bertuliskan salam untuknya dari Ranukumbolo danau suci. Alay sih, tapi saat itu yang model begini ini sedang keren, sedang hits. Memang sepertinya aku sudah sampai pada tahap jatuh cinta nih. Eaaaaa.

Sampai detik ini sejauh ini (setelah kami berkenalan jauh) pun belum pernah ada semacam deklarasi aku nembak dia dan dia menerimaku. Benar-benar kisah perjalanan cinta yang seru, tanpa tembak menembak ala muda-mudi pada umumnya tapi sudah berjalan sejauh ini. Dalam kesempatan yang lain tentu aku harus menegaskannya, suatu ketika di tengah perbincangan melalui chatting whatsapp aku bertanya kepadanya, "Dek, kita sudah sejauh ini, saling mengenal, bahkan orang tuamu sudah berprasangka baik terlebih dahulu tentang kedekatan kita. Tapi kita belum pernah menyatakan diri bersama, kita ini pacaran atau bukan?" Dia menjawab dengan jawaban sedikit tidak serius, "Hahaha, lha maunya gimana mas?". Hasyemmm, malah dijawab begitu, yaudah aku harus jawab balik secara tegas "Yaudah kita harus buat komitmen dulu, bahwa status kita harus di-clear-kan, aku minta kita berstatus pacaran." Apa jawaban dari dia? "Ya sudah kalau begitu maunya, bulan idul adha tahun ini Ayah mau naik haji, doanya ya, mudah-mudahan kamu juga bagian yang ayah sebut namanya saat ibadah haji nanti". "Amin..." Jawabku sambil senyum sendiri.

Waktu terus berjalan ke depan, aku tetap dengan segala aktifitasku. Kerja, main, sesekali nelpun dia, chatting dan seterusnya. Suatu ketika aku ngetrip ke Pulau Pahawang, Lampung sekaligus kondangan di acara nikahan teman kosku dulu saat SMA. Di tengah-tengah tripku ke Lampung kala itu tiba-tiba Ayahnya Vivi nelpun, kringgggg kringgggg... Insyaallah insyaallah... (Kebetulan nada deringku memang insyaallah-nya Maher Zain). Ku angkat lah telpun itu tentunya.

Ayah Imam: Assalamualaikum. Halo? Sedang apa mas Robi? Di mana?
Aku: Waalaikumsalam. Sedang di Lampung Pak, sedang kondangan sekaligus main.
Ayah Imam: Sehat kan mas? (Padahal harusnya aku yg bertanya begitu bukan?)
Aku: Iya Pak sehat, njenengan pripun? Sehat?
Ayah Imam: Alhamdulillah sehat mas, ini sudah selesai semua proses ibadah hajinya, sedang santai di penginapan nunggu pulang ke tanah air
Aku: Alhamdulillah Pak, mugi-mugi mabrur njih Pak.
Ayah Imam: Kapan sampean pulang Kediri lagi? Mampir Blitar ya mas.
Aku: Inysaallah bulan depan pulang kok Pak.
Ayah Imam: Oke-oke ditunggu ya mas, monggo mampir ke Blitar ada kurma dari Arab. Hati-hati ya mas.
Aku: Njih Pak, matur suwun sanget.

Tibalah di waktu yang ku janjikan, aku pulang ke Kediri. Bersama adikku si Fatkhan aku niatkan berkunjung jagong haji ke rumah beliau di Blitar, tanpa ada Novita di sana karena dia memang sedang di Malang. Tak mengapa, tujuanku memang bukan apelin dia, tapi silaturahmi dan mengucapkan selamat atas ibadah haji calon mertua yang baru saja dijalani. Sampai di rumah Blitar ya seperti biasa, berbincang bertukar kabar ngalor ngidul begitu. Saling bertanya satu sama lain, guyon, saling mendoakan, dan tentu beliau menanyakan progres hubungan anaknya denganku. Simpelnya, Ayah Vivi sudah sangat merestui kami berdua dan berharap kami berdua segera melangkah ke jenjang pernikahan jika memang sudah sama-sama saling menyukai, sama-sama saling berhasrat. Aku menyampaikan kepada beliau bahwa insyaallah hati ini sudah mantap, insyaallah nanti perwakilanku yaitu kakakku ingin bersilaturahmi ke sini. Maklum aku sudah ditinggal ke dua orang tuaku, sehingga kakakku lah yang menjadi orang tuaku saat itu dan hingga kini.

Singkat cerita kakakku berkunjung ke kediaman calon ayah mertuaku, tanpa aku dan tanpa Novita di kunjungan itu. Intinya saling ingin berkenalan satu sama lain, ingin saling mendeskripsikan dari mana kami berasal usul dan tentunya meyakinkan ke dua belah pihak bahwa insyaallah kami berdua ingin serius menikah. Kami berdua sudah yakin satu sama lain, setahun sudah waktu kami jalani berdua untuk saling mengenal, tepat jelang lebaran 2017 itu saat kami pertama bertemu hingga akhirnya jelang lebaran 2018 aku, keluargaku (kakakku, pak lek, bu lek) benar-benar datang ke rumah Blitar untuk melamar gadis yang bernama Novita Nuraini ini. Tak akan banyak cerita seputar proses lamaran yang aku tuangkan ke dalam tulisan ini. Sederhana, lamaranku diterima, keluargaku memasrahkan kapan hari baik dan tetek bengeknya pernikahan kami berdua ke keluarga istriku. Sepakat.

Calon ayah mertuaku memberikan kabar bawha tanggal 2 November 2018 dipilih sebagai hari akad nikah kami berdua. Keluargaku tidak ada masalah, lanjut. Hari terus berjalan seperti biasa, mendekati hari H tentu perasaan semakin campur aduk, yakin, tidak yakin kemudian yakin lagi lalu berantakan lagi, terus begitu polanya. Mungkin ini bagian dari ujian orang yang hendak menikah, karena menikah itu kebaikan. Tentu syaitan dan jin jahat tidak menyukainya dan berusaha sekeras mungkin menggagalkannya. Doa terus ku panjatkan, kami berdua terus membangun komunikasi efektif, persiapan kami susun secara mandiri berdua, mulai dari mempersiapkan pernak-pernik pernikahan, dan seterusnya, calon istriku jago juga dalam urusan ini. Calon istriku mempersiapkan segala hal yang digunakan untuk mendukung suksesnya acara pernikahan kami, aku sendiri hanya bisa membantu sedikit saja jauh dari kata luar biasa. (Soal detail rundown acara pernikahan kami insyaallah kalau ada waktu longgar akan Saya tuliskan di lain kesempatan tulisan).

Jumat, 2 November 2018 pagi hari jam 08.00 WIB kami berdua melangsungkan ijab-qobul akad nikah. Lancar hingga akhir acara resepsi di sore hari. Alhamdulillah. Puji syukur kami haturkan senantiasa kepada Allah SWT. Terima kasih tak terhitung juga kami apresiasikan kepada semua orang yang mendukung kami, mulai dari pak modin, pak penghulu, keluarga, teman, dan semua orang yang sudah berbondong-bondong mendoakan kami baik secara langsung dengan hadir di acara atau pun yang tidak langsung dengan berkirim pesan ucapan selamat. Semoga Allah balas semua kebaikan panjenengan, saudara-saudara semua dengan ganjaran yang setimpal dari Allah SWT di yaumil akhir kelak. Amin.

Terakhir, pesan yang tidak pernah bosan ku sampaikan kepadamu wahai istriku, bersabarlah dalam pernikahan ini, bersabarlah menghadapiku, mas bukan siapa-siapa lebih-lebih seperti yang pernah kamu bilang mirip Erros Chandra, jauh keles. Mas hanya manusia biasa yang sedang berusaha memperbaiki diri, membangun keluarga kecil bahagia lahir batin, dan tentu kuyyy tatap terus masa yang akan datang dengan penuh gairah dan optimis serta husnudzon pada Allah SWT. Tetap konsisten saling mendoakan kebaikan. Love you istriku. My dearest cute wife.

KA Jayabaya
Malang-Jakarta
28 November 2018

Suamimu, juga pernah sebentar jadi pacarmu
Robi Cahyadi

My Wedding; Robi - Novita

No comments:

Post a Comment