Tuesday, November 12, 2024

INDUSTRY: HACCP FOOD MANUFACTURING

HACCP adalah sebuah metode sistematis berbasis sains yang mengidentifikasi risiko bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya untuk memastikan keamanan dari produk pangan yang diproduksi. Berfokus pada pencegahan, HACCP dapat membantu perubahan termasuk merancang peralatan dan prosedur pengolahan.

Bahaya yang pada dasarnya ingin dikendalikan oleh sistem HACCP meliputi bahaya biologi atau mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik, serta kadang-kadang ditambahkan bahaya histamin. Hal ini biasanya disebut “peluang bahaya” akan terjadi. Tim HACCP perlu mempertimbangkan segala kemungkinan (peluang) untuk setiap bahaya yang telah diidentifikasi.

Tujuan penerapan sistem HACCP adalah mencegah atau meminimalisir terjadinya kerusakkan produksi atau ketidakamanan pangan, yang tidak mudah bila hanya dilakukan pada sistem pengujian akhir produk saja. Dengan berkembangnya HACCP menjadi standar internasional dan persyaratan wajib pemerintah, memberikan produk memiliki nilai kompetitif di pasar global. Kira-kira begitu.

Bahaya fisik yang pada umumnya ingin dikendalikan dalam sistem HACCP adalah bahaya kontaminasi benda asing (foreign objects) khususnya metal. Salah satu alat terakhir yang diinstall dan diyakini mampu untuk mendukung proses produksi yang dapat mencegah kontaminasi metal adalah metal detector. Tapi sayangnya para user seringkali tidak memahami bahwa ada satu kaidah bahwa tidak semua metal dapat dideteksi.

Dalam ilustrasi di bawah dijelaskan bahwa ada tingkat kesulitan tertentu dalam mendeteksi object metal dengan metal detector. Secara teoritis non-magnetic metals seperti stainless steel (SUS) justru yang paling sulit dideteksi oleh metal detector. Padahal justru material SUS ini yang diyakini pula paling aman dari potensi karatan (rust) sehingga dipilih sebagai material nomor wahid yang umum digunakan untuk berbagai peralatan pendukung produksi pangan. Ironically. Menarik bukan?

Monday, October 7, 2024

RELIGI: MASJID JAWA TIMUR LAWAS

Tidak ada kubah dan memang sebenarnya ndak masalah walau tidak ada, saking masyarakat kita ini mudah minder sehingga di kemudian hari dan kini masjid selalu dipasang kubah dengan reason agar seperti masjid-masjid di timur tengah dan beberapa menganggap itu bagian dari bentuk mengikuti sunnah. Entah.

Dalam foto ini, tampak masjid tua yang berada di wilayah desa Temenggungan, kecamatan Udanawu, kabupaten Blitar. Sebuah wilayah yang nyaris sejengkal dengan desa Pelas, kecamatan Kras, kabupaten Kediri. Masjid ini bernama Baiturrokhman yang berarti rumah sang pengasih. Kira-kira masjid ini berdiri sekitar tahun 50-an.

Bentukan masjid tempo dulu selalu berciri khas demikian, bentuk atapnya adalah berupa limas bertingkat atau bersusun yang menampakkan kesan tinggi dan gagah. Tidak diperlukan kubah dalam konsep pembangunan masjid di Jawa tempo dulu. Atap limasan atau tajug ini sudah menjadi ciri khas yang sebenarnya menawan lagi istimewa jika diperhatikan.

Pun begitu dengan serambinya, bagian luar yang integral dengan bangunan tengah utama masjid. Bentukannya pun berupa selasar memanjang dengan atap limasan yang kadangkala bersusun dan berkonsep joglo (tajug loro). Menambah keindahan masjid secara utuh. Ini adalah wujud mahakarya arsitekur nusantara.

Pada dasarnya, konsep umum masjid Jawa tempo dulu adalah menjadikan ruang utama masjid terbagi dua, sebelah kiri untuk jamaah laki dan kanan untuk jamaah perempuan. Adapun serambi masjid Jawa tempo dulu pada umumnya dipergunakan untuk berbagai aktifitas seperti halnya mengaji, rapat takmir dan atau acara-acara keagamaan lainnya.

Kemudian dengan kamar mandi sekaligus tempat wudhlu di sebelah kiri untuk jamaah laki, pun begitu dengan sebelah kanan yaitu kamar mandi dan tempat wudhlu untuk jamaah perempuan. Kentongan besar dan bedug yang khas dari kulit sapi pada umumnya diinstal di pojok serambi masjid, bisa di kiri atau di kanan. Sangat indah.

Halaman masjid di kampung-kampung pedesaan Jawa yang mayoritas cukup luas tentunya dapat dijadikan berbagai fungsi positif bagi jamaahnya. Mulai dari fungsi lahan parkir, lahan pengajian umum tahunan, lahan untuk agenda rutin tahunan seperti saat merayakan malam takbiran atau sebagai lokasi penyembelihan hewan qurban saat Idul Adha datang. Begitu kira-kira gambaran umumnya.

Namun dewasa ini, akibat pengaruh pemahaman beragama yang semakin luas dan global. Pembangunan masjid baru-baru ini sudah tidak lagi menggunakan konsep limasan berserambi seperti nampak pada foto ini. Kini masyarakat umumnya lebih menyukai desain ketimur-tengahan, desain kotak dengan atap berkubah besar adalah impian masyarakat hampir di banyak wilayah.

Begitu kira-kira sekelumit wajah baru perubahan sosial budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Diakui atau tidak, perlahan pola sosial dan budaya masyarakat selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tentunya penulis berharap masjid klasik nan indah seperti masjid Baiturrokhman di foto ini, masih terus eksis di tengah gempuran arsitektur timur tengah yang katanya lebih modern itu.

Pelas, Kras, Kediri, September 2024

Sunday, September 8, 2024

FAMILY: AKU ADALAH CUCU PROLETARIAN

Kakekku dari garis ibu bernama Mustad, beliau adalah anak dari Mbah Sonorejo yang asal usulnya dari daerah Kedungwaru, Tulungagung. Aku tidak pernah tahu secara detail tentang Mbah Sonorejo, yang aku tahu dari cerita ibu, beliau adalah kakek ibuku yang artinya beliau adalah mbah buyutku.

Meski begitu, yang cukup banyak ku ketahui adalah tentang kakekku dari jalur ibu, beliau bernama Mbah Mustad. Aku masih cukup ingat betul tentang masa tua beliau mengingat beliau dipanggil menghadap Tuhan YME saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar di mana di usia itu ingatan dan kesadaranku sudah cukup baik karena mendekati aqil baligh.

Mbah Mustad adalah piyantun alit sosok yang sangat bersahaja dan pekerja keras, sebagai seorang generasi yang lahir sebelum negeri ini merdeka tentu Mbah Mustad telah banyak mengalami liku kehidupan yang sangat getir juga pahit. Beliau menikahi nenekku Mbah Yupiatun dan setidaknya saat ini tercatat sudah memiliki puluhan cucu termasuk aku, sarjana teknik mesin yang kini menjadi kelas pekerja.

Menurut keterangan ibuku, Mbah Mustad sedari muda sangatlah tampan untuk ukuran orang zaman itu. Perawakannya tinggi dan hidungnya sangat mancung. Mbah Mustad bekerja sangat keras layaknya orang Jawa pada umumnya, beliau bekerja menggarap ladangnya sendiri dan tentunya juga menjadi buruh bagi majikan atau para tuan tanah di desa masa kecilku. Menggarap sawah sendiri sekaligus menjadi buruh ini lumrah dilakukan oleh orang yang sawahnya memang sepetak saja, kira-kira begitu kiasannya.

Pada suatu sore saat aku hendak berangkat mengaji di TPQ yang ada di desaku, tepatnya di rumahnya H. Jamil Mustofa. Aku tidak sengaja bertemu dengan Mbah Mustad, mbahku yang sedang ku narasikan dalam tulisan pendek ini. Saat melalui sebuah jalan kecil yang biasa kami sebut dengan “dalan etan” di desaku, menuju TPQ tepatnya di kebun nanas samping selatan rumahnya Pak H. Wahid juragan kecap, Mbah Mustad bekerja di sore hari yang rindang di sana.

Apa yang dikerjakan oleh beliau? Beliau bekerja mendongkel oyot barongan (akar pohon bambu). Ini tentu adalah pekerjaan super berat, heavy duty work. Mustahil hari ini anak muda yang gagah berotot sekalipun berani mengambil job membongkar oyot barongan. Ada banyak resiko dalam pekerjaan ini, resiko terburuk adalah tidak pernah tahu apakah ada ular berbisa yang sewaktu-waktu menyerang atau barangkali jin penghuni barongan marah dan menyurupinya.

Di usianya yang tidak lagi muda, Mbah Mustad melakukan pekerjaan ini dengan riang dan gembira. Keriangan dan kegembiraan itu tampak melalui lintingan tembakau yang mengepul asap di mulutnya. Tanpa mengenakan pakaian atasan, bermodalkan sebuah cangkul, bedog dan prekul beliau melakukan pekerjaan kasar penuh tantangan ini. Saya mengamatinya langsung, bukan diceritai.

Membekas di hati terdalamku sebagai cucu beliau, bahwa jangan-jangan itulah hakikat dari tanggung jawab seorang laki-laki. Yaitu secara sungguh-sungguh bekerja dalam rangka memperjuangkan kebahagiaan keluarga. Sewaktu kecil itu, aku tak sepenuhnya sadar bahwa itu adalah wujud kemurnian perjuangan. Menginjak dewasa dan hari ini aku semakin sadar bahwa itu adalah teladan tak ternilai yang pernah ku dapati.

Mbah Mustad memberikan teladan yang epik dalam hidupku, meski tidak sampai dewasa aku bersama dan menjumpainya tapi ingatanku cukup bagus untuk mengenang dan dengan jujur merawikan sedikit kisah heroiknya. Kalau dipikir-pikir, saat itu barangkali usia beliau di kisaran 70-an, tapi masih bersedia bekerja sekeras itu. Demi apa dan siapa? Silakan direnungkan.

Lalu, jika cucu-cucunya khususnya diriku kebanyakan mendahulukan sambat dan mengeluh atas keadaan saat ini. Sungguh betapa malu seharusnya diri ini. Dari Mbah Mustad, kakekku di jalur ibu aku mentasbihkan diri bahwa aku adalah seorang cucu proletariat (baca: worker class). Orang-orang pejuang kebahagiaan hidup yang tak kenal lelah sampai akhir hayatnya. Semoga ini adalah jalan menuju surga-Nya.

Alfatihah untuk Mbah Mustad, juga Ibuku. Aamiin 🤲🏽

Sunday, August 18, 2024

INDUSTRY: MENTAL SILO PENGHAMBAT BISNIS

Adakah rekan kerjamu yang cenderung enggan berbagi informasi seputar pekerjaan atau urusan kantor? Atau, apakah malah kamu yang cenderung bersikap seperti itu? Hati-hati, ini adalah pertanda dari silo mentality.


Mental seperti ini biasanya muncul dari rasa kompetitif di antara rekan kerja. Sayangnya, memiliki mental seperti ini dapat memberi dampak buruk bagi pekerjaan. Bahkan lebih luas lagi bagi bisnis perusahaan secara umum.


Lebih buruknya lagi, mental ini juga dapat memberi efek negatif pada budaya kerja di perusahaan, lho. Percaya atau tidak budaya mental silo ini sangat destruktif bagi pelakunya dan banyak pihak di lingkungannya.


Apa saja ciri-cirinya dan bagaimana cara menghindarinya? Yuk, cari tahu selengkapnya dalam artikel berikut!


Definisi Silo Mentality


Menurut Investopedia, silo mentality adalah keengganan untuk berbagi informasi dengan karyawan dari divisi yang berbeda di dalam perusahaan yang sama.


Kata silo awalnya mengacu pada wadah penyimpanan hasil pertanian. Namun, istilah ini sekarang digunakan sebagai metafora untuk entitas terpisah yang menyimpan informasi tertentu.


Dalam bisnis, silo mengacu pada divisi yang beroperasi secara independen dan menghindari berbagi informasi.


Ini juga mengacu pada bisnis yang departemennya memiliki aplikasi sistem silo, di mana informasi tidak dapat dibagikan karena keterbatasan sistem.


Umumnya, mental silo ini terjadi akibat kompetisi antar manajer yang kemudian menyeret anggota timnya. Akibatnya, lingkungan dan budaya kerja dapat berubah menjadi toxic.


Mental seperti ini juga memberi dampak negatif pada politik kantor.


Dampak silo mentality


Dikutip dari Indeed, jika tidak segera diatasi, berikut adalah beberapa dampak dari silo mentality di tempat kerja.


1. Mengurangi produktivitas

Salah satu dampak dari tumbuhnya mental silo dalam budaya kerja adalah adanya perbedaan kepentingan individu dan perusahaan.


Adanya perbedaan cara pikir dan kepentingan inilah yang mengakibatkan berkuranganya produktivitas kerja.


Jika setiap divisi hanya berfokus kepada kepentingannya masing-masing, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.


2. Menurunnya moral

Pekerja dengan mental silo akan merasa frustasi karena kurangnya komunikasi dan terjadinya persaingan tidak sehat antar divisi serta manajemen.


Penurunan moral ini juga berdampak pada berkurangnya kinerja serta meningkatnya kemungkinan resign.


3. Berkurangnya kepuasan pelanggan

Cara berpikir silo atau silo thinking bukan hanya berdampak pada internal perusahaan melainkan juga eksternal atau pihak klien/pelanggan.


Kurangnya kolaborasi antar tim produk dan layanan yang tidak maksimal, sehingga konsumen jadi tidak puas.

Sunday, August 4, 2024

RELIGI: FENOMENA JILBAB DI KALANGAN PELAJAR

Oleh: Robi Cahyadi

Tulisan singkat ini penulis dedikasikan untuk diri sendiri yang sedang resah dan berkecamuk dalam pikiran tentang fenomena masifnya pengenaan jilbab di kalangan pelajar. Tidak ada tendensi apapun dalam tulisan ini selain otokritik atas pemahaman penulis terkait jilbab di kalangan pelajar dewasa ini.

Dalam konsistensi pemahaman penulis, jilbab adalah uniform yang seharusnya tidak wajib dikenakan oleh pelajar level sekolah dasar, menengah pertama hingga menengah atas. Penulis tidak mengharapkan sanggahan atas pemahaman ini karena hemat penulis ini adalah fundamental dalam kaidah kemerdekaan berpikir.

Penulis mencoba flashback sekitar lima belas tahun lalu di era sekolah menengah penulis. Di waktu itu penulis mengalami dengan sendiri bahwa secara faktual penggunaan jilbab di kalangan pelajar adalah minoritas. Mayoritasnya pelajar di era itu tidak mengenalan jilbab. Barangkali hanya pelajar Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah yang mengenakannya karena tuntutan regulasinya.

Akan tetapi untuk pelajar sekolah negeri atau pun swasta yang sekolahnya tidak terafiliasi pada Depag (Departemen Agama) dan Islam tidak diatur tentang pengenaan jilbab. Pelajar waktu itu bebas memilih uniform yang ia kenakan tentunya tetap dengan requirements yang sekolah tetapkan.

Dewasa ini, saat penulis amati dengan seksama ternyata budaya lima belas tahun yang lalu itu sudah bergeser. Culture saat ini adalah manjadikan jilbab sebagai uniform normal di semua jenjang sekolah. Bahkan jika boleh claim, saat ini justru sebaliknya yaitu yang berjilbab menjadi mayoritas dan yang non jilbab menjadi minoritas.

Apakah ini pertanda baik? Dari mana justifikasi bahwa ini adalah pertanda baik? Dua pertanyaan dasar ini akan sangat sulit dijawab seketika karena memerlukan perdebatan argumen dan perselisihan pemahaman yang tentunya tidak mudah diadili siapa yang berada dalam posisi benar.

Pada faktanya, hari ini sudah berbeda dengan lima belas atau bahkan dua puluh tahun lalu. Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa perubahan culture dalam masyarakat itu nyata adanya dan kita dituntut untuk agile atas kondisi itu. Penulis lebih memilih kata agile dibanding adaptif, karena adaptif lebih permisif dibanding agile.

Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang membuat fenomena perubahan culture ini terjadi di tengah masyarakat? Tentu tidak lain tidak bukan adalah pemahaman atau firkah (pemikiran) akan suatu value dalam kehidupan beragama. Barangkali masyarakat atau umat saat ini semakin sadar bahwa jilbab adalah kewajiban? Ini pun menurut penulis sangat debatable.

Kembali ke soal sejarah perubahan budaya dalam uniform pelajar. Kita coba runut ke belakang lebih jauh. Kita mahfum di era pra-kemerdekaan yaitu eranya Kartini, bagaimana uniform pelajar pribumi waktu itu? Pakai kebaya yang dibarengi masih memperlihatkan kemolekan tubuh waktu itu barangkali sudah sangat sopan dan penuh value. Betul?

Kemudian setelah era post-kemerdekaan yaitu era orde lama dan order baru, jika kita amati foto-foto orang tua khususnya ibu kita (barangkali) saat jadi pelajar. Mereka mayoritas mengenakan uniform rok pendek dan tanpa jilbab. Sekali lagi, sampai berakhirnya orde baru style-nya masih demikian dan ini menjadi uniform mayoritas.

Pergeseran mulai merangkak terjadi di era reformasi, setelah tumbangnya rezim orde baru. Berbagai arus informasi yang keluar masuk di negeri ini menjadikan masyarakat kita kaya akan firkah (pemikiran atau pandangan). Salah satunya yang giat menginfiltrasi umat adalah pandangan agamawan bahwa jilbab adalah suatu kewajiban.

Di titik inilah mula dari perubuhan culture yang penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini. Kekuatan giringan pandangan ini lah yang menjadikan pelajar hari ini baik di sekolah negeri atau swasta yang tidak terafiliasi pada islam sekalipun ikut terbawa arus deras yang penulis sebut sebagai “fenomena perubahan”. Ya, hari ini jilbab dipakai hampir di segala jenjang sekolah.

Bahkan tidak sedikit juga pelajar yang sebenarnya non-muslim dan tidak ingin mengenakan jilbab atau pelajar islam sekalipun yang ekspektasinya adalah merdeka dalam pemilihan uniform, menjadi terpaksa mengikuti gerakan perubahan culture yang dikomandoi oleh mayoritas. Yaitu berjilbab di sekolah dan akan tetapi menanggalkannya saat di kehidupan luar sekolah.

Sekali lagi, seperti yang penulis jelaskan di awal bahwa ini adalah otokritik atas pemikiran penulisan pribadi. Bahwa ternyata the power of majority movement itu benar nyata adanya. Yang minoritas seringnya akan kalah terseret arus oleh yang mayoritas. Terlepas itu hanya trend dan masifnya pengenaan jilbab oleh pelajar di semua jenjang sekolah tidak selalu linier dengan kebaikan akhlaknya.

Apakah pernah diukur secara kuantitatif dan kualitatif untuk obyektif menyimpulkan bahwa kalimat terakhir tepat di paragraf atas barusan terbukti? Boleh untuk direnungkan. Yang pasti, penulis tidak cukup mampu berlogika dan bernalar jika ada sekolah negeri milik pemerintah yang tidak terafiliasi pada ajaran agama tertentu, yang seharusnya netral dari pewajiban berjilbab lantas membuat regulasi mewajibkan. Semoga tidak ada yang demikian.

Waallahualam bhissowab.

Malang, 25 Juni 2024

Tuesday, June 11, 2024

MANUFACTURING: LEARN ABOUT HOW AVOID MISTAKES

Tips to reduce the likelihood of making mistakes at work

Here are some tips you can use to reduce the chances of making more errors at work:

1. Give your work full attention at optimal times. Depending on your personal energy levels, structure your day so you're working on your highest-priority tasks when you feel most energized. Another strategy is to work on these projects during the time in your day when others are least likely to disturb you.

2. ⁠Double-check all communications and presentations. The more you get in the habit of checking for errors before clicking the "Send" button in chat or email, or printing documents for others to read in a meeting, the more assurance you can have that your communications are error-free.

3. ⁠Create checklists. A checklist can help you avoid making mistakes, especially for more repetitive tasks. Once you have a process in place, follow the specific steps on your list each time you complete that task.

4. ⁠Review your work. Each time you're done with a task or process, especially high-priority work, review it for mistakes. If possible, take a break from the project before reviewing it for the final time so you can more successfully identify errors later.

5. ⁠Take breaks. Take a break from work every 90 minutes to two hours to increase the likelihood of error-free work. Try to take a break away from your workspace to fully disengage from your responsibilities.

6. ⁠Eliminate distractions. When you're working on high-priority tasks, put your phone away, close your email and unnecessary browsers and put any work-related messenger apps on "do not disturb" mode. Keep a pen and notepad available to write down any unrelated thoughts to help you stay on task.

7. ⁠Ask questions. When you start a new job or begin a new project, ask questions so you can fully understand your role. Learning more about your duties and the steps you're planning to take can help you eliminate the possibility of making errors.

8. ⁠Create a detailed schedule. To ensure you meet deadlines, use a calendar that outlines everything you plan to do in a day, week and month. You can even schedule your hours so you spend the right amount of time on each task.

Sunday, May 5, 2024

RELIGI: MENYOAL KERAMAIAN ANAK DI MASJID

Anak adalah salah satu anugerah yang sangat spesial bagi para orang tua, is it right? Tentu sudah sangat benar sekali jika setiap orang tua punya himmah (gegayuh atau cita-cita), menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik dan mengenal Tuhannya.

Bahkan dalam sebuah hadist nabi juga dijelaskan bahwa salah satu dari ke tiga amal jariyah, yaitu amal yang pahalanya tidak akan terputus sepanjang waktu adalah anak-anak yang sholeh sholehah. Do you understand well with this rule?

Lalu sebagian kecil dari pada banyak upaya yang dilakukan orang tua dalam berharap kesholeh-sholehahan anak-anaknya adalah mengajaknya dalam ritual peribadatan. Sederhananya diajak dan dikenalkan beribadah sholat di masjid atau langgar (mushola).

Tapi sayang seribu sayang, niat baik para orang tua tersebut tidak selalu selaras dengan pemikiran atau harapan orang tua yang lainnya. Saat anak-anak yang belum aqil baligh tersebut kemudian bercanda dan banyak tingkah saat ritual ibadah berlangsung, di sini letak persoalannya.

Tidak sedikit orang tua lain justru terganggu dengan adanya anak-anak yang riang gembira bercengkerama secara naluriah fitrah bersama teman seusianya. Mereka yang ingin mendapatkan kekhusyukan dalam beribadah tentu akan sangat murka hatinya, tidak jarang sampai harus mengeluarkan umpatab dan hardik kepada anak-anak kecil itu.

Lalu bagaimana islam yang ajarannya diwakili oleh para alim ulama’ saat ini memandang dan menjawab persoalan ini? Bukan alim ulama’ jika tidak bisa memberikan solusi atas persoalan sederhana ini. Mari kita renungkan bagaimana persoalan ini mendapatkan solusinya.

Jika merujuk pada sejarah yang ada, anak kecil di masjid sudah lazim sejak zaman Rasulullah SAW. Perilaku anak pada zaman itu juga tidak berbeda jauh dengan zaman ini, sama-sama suka bermain. Tidak ada kondisi dan penjelasan khusus bahwa anak-anak di zaman nabi lebih pendiam dan anteng. Namun, bagaimanakah baginda Nabi Muhammad SAW menyikapi mereka di masjid?

Terkait hal ini, Abu Qatadah RA menuturkan, “Aku melihat Rasulullah SAW mengimami shalat sambil menggendong cucunya, Umamah binti Abi al-‘Ash di pundaknya. Bila beliau akan sujud, maka anak tersebut diturunkannya” (HR Bukhari dan Muslim).

Berangkat dari satu hadist ini para ulama’ kita menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW pun ternyata membawa anak kecil ke masjid. Namun, beliau bertanggung jawab dan tidak lepas tangan. Beliau pegangi cucunya, bahkan beliau gendong agar tidak mengganggu jamaah yang lainnya. Ini!

Pun begitu dalam riwayat yang lain, Syaddad RA mengisahkan, di suatu shalat Isya, Rasulullah SAW datang sambil membawa cucu beliau, Hasan atau Husain. Beliau maju ke pengimaman dan meletakkan cucunya lalu bertakbiratul ihram. Di tengah shalat, beliau sujud lama sekali. Karena penasaran, Syaddad RA mengangkat kepalanya untuk mencari tahu.

Ternyata sang cucu naik ke pundak Rasul SAW saat beliau sujud. Syaddad RA pun kembali bersujud. Seusai shalat, jamaah bertanya, "Wahai Rasulullah, tadi engkau sujud lama sekali. Hingga kami mengira ada kejadian buruk atau ada wahyu yang turun padamu".

Rasulullah SAW menjawab, “Bukan itu yang terjadi, tapi tadi cucuku (antara Hasan atau Husain) menjadikan punggungku sebagai tunggangan. Aku tidak suka memutus kesenangannya hingga dia puas” (HR Nasa’iy dan dinilai sahih oleh al-Hakim).

Walhasil, kesimpulannya adalah bagi orang tua yang membawa serta anaknya ke masjid harus bertanggung jawab atas tingkah polah mereka. Bertugas untuk mengondisikan dan memberikan pengertian kepada anak. Namun, proses pendidikan itu harus dilakukan dengan penuh kelembutan dan kesabaran hati.

Dengan demikian, diharapkan anak-anak tidak kapok untuk berangkat ke masjid atau majelis taklim. Pada waktu yang sama, keberadaan mereka juga tidak membuat jamaah lainnya terganggu kekhusyukannya dalam beribadah.

Segamblang itu masih sulit dipahami kah? Jika sulit, tidak lain tidak bukan barangkali sujudmu kurang lama sehingga menyebabkan kebaikan hatimu tidak turun ke isi kepalamu (logikamu). Semoga tulisan ini menjadi sebab dibukakannya pemahaman yang luas sehingga mengarifkan hati kita semua para orang tua. Aamiin.

Wallahualam bhissowab.

Malang, 9 April 2024
Robi Cahyadi

FAMILY: BABAK AWAL USIA PERNIKAHANKU

Tidak terasa pernikahan kami sudah lebih dari lima tahun lamanya. Katakanlah usia hidup kami mampu menembus 70 tahun, artinya usia pernikahan kami baru setara sekitar 18 menit babak pertama sebuah pertandingan sepak bola full time.

Artinya masih sangat jauh untuk menuntaskan peluit panjang babak kedua berakhir yaitu di menit 90. Belum lagi jika masih harus dapat injury time yang dewasa ini dalam pertandingan sepakbola seringnya melebihi 5 menit per babak. Atau jika ternyata berlanjut ke babak adu pinalti, akan semakin panjang jalan menuju kemenangan itu.

Lima tahun lebih menuju ulang tahun ke enam pernikahan yang tentunya penuh drama dan lika-liku. Mulai dari bagaimana memahami apa yang seringkali dia inginkan atau pun dia memahami keinginan saya untuk tidak mengajak bicara sedikit pun saat saya baru sampai rumah dari bepergian.

Perjalanan masih akan sangat panjang, mustahil dengan komitmen yang kecil sebuah pernikahan dapat langgeng sampai ke duanya dijemput ajal. Pernikahan memang butuh komitmen yang sangat luar biasa, tidak boleh kita meremehkan perihal ini.

Pernikahan adalah ibadah yang barangkali menjadi ibadah terpanjang dalam hidup manusia khususnya penganut islam. Dijelaskan dalam islam bahwa “barang siapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah kepada Allah swt pada separuh yang kedua”.

Dalam bahtera pernikahan pasti selalu ada masalah dalam rumah tangga bahkan seringnya yang bersifat unpredictable dan itu membutuhkan manajemen konflik yang berkesinambungan. Jika berhasil menghadapinya dengan baik maka itulah ibadah. Itulah esensi kenapa pernikahan dikatakan sebagai ibadah terlama.

Tindak tanduk dalam rumah tangga mengandung dua konsekuensi logis yaitu pahala dan dosa. Sebut saja istri dengan riang menyiapkan makanan tapi suami enggan menyantapnya, jika istri kecewa itu tentu akan menjadi kutukan bagi suami. Pun begitu jika suami ingin dibuatkan segelas kopi tapi istri ngersula tidak ikhlas, Allah SWT niscaya murka.

Semoga kami diberikan kekuatan lahir dan batin untuk terus berkomitmen, untuk selalu siap mitigasi dan mengelola konflik di dalam ikatan pernikahan ini. Semoga keberkahan-keberkahan dan ridhlo Allah SWT senantiasa menyertai. Aamiin. 🤲🏽

Saturday, March 9, 2024

RELIGI: MENATA HATI MENYAMBUT RAMADHAN

Ramadhan merupakan salah satu momentum untuk mengeliminasi keruwetan dalam hidup kita. Keruwetan yang dimaksud di antaranya adalah kesumpekan hati, kecupetan pikiran, bahkan hingga sempitnya rezeki yang sangat kita nantikan terpecahkan hari demi hari.

Ramadhan sebentar lagi datang dan menemani hari-hari kita dalam kurun waktu sebulan mendatang, apa yang harus dipersiapkan dalam rangka menyambut bulan suci ini? Sirup, kurma, jajanan, atau stok bahan makanan kah?

Bukan, bukan itu yang harus dipersiapkan. Badokan dan cekekan semacam itu hanya kebutuhan printilan saja di bulan ramadhan yang mulia nanti. Persiapan terpenting adalah hati dan keseriusan dalam menatap bulan suci itu sendiri.

Kenapa hati harus dipersiapkan? Ini berkaitan erat dengan niat, segala ibadah seyogyanya dilandasi niat dan niat itu adanya di dalam hati sanubari. Dari niat yang tulus dalam hati berharap lahirlah keseriusan dalam beribadah di bulan suci nanti.

Itulah kenapa mbah-mbah kita dulu mengajarkan ritual bernama “tidur” sehari menjelang ramadhan. Membersihkan mushola atau langgar yang akan dijadikan sentra pencarian maghfirah, menabuh bedug sepanjang hari dengan niat tulus dan bahagia menyambut ramadhan.

Apakah budaya “tidur” menabuh bedug dengan pukulan rancak yang indah didengar khas islam mataram ini sudah punah di tengah gempuran masyarakat yang semakin modern dan cinta duniawi? Entahlah. Patut kita simak nasih selanjutnya.

Yang pasti banyak di antara kita yang hanya melewatkan kemuliaan-kemuliaan bulan ramadhan begitu saja tanpa mendapatkan benefitnya. Senang dan riuh dengan segala romantisasi bulan ramadhan, tapi sebenarnya hati dan pikiran kosong tidak terisi kebaikan apapun.

Padahal kita tahu, bulan ramadhan dikenal dalam islam sebagai bulan penuh maghfirah (ampunan Allah SWT). Jika kita para pendosa ini menyeriusi datangnya bulan ramadhan dengan niat, bukankah semakin besar peluang mendapatkan maghfirah yang endingnya adalah kelancaran hidup kita?

Wallahualam bhissowab…

Malang, 9 Maret 2024
Bapaknya Val

Saturday, February 10, 2024

FAMILY: PENDIDIKAN ANAKKU PENDIDIKANKU

Pernikahan itu melahirkan diskusi tiada henti antara suami dan istri. Salah satu diskusi yang tidak bisa dilewatkan adalah ngobrolin soal pendidikan anak. Meski anakku masih kecil, tidak jarang aku dan ibunya Val sudah ngomong basa-basi soal nanti Val sekolah di mana hingga saat besar harus kuliah apa dan di mana. Mungkin terlalu dini ya ngomonginnya, tapi ini realita yang tidak bisa dicegah.

Membersamai tumbuh kembang anak merupakan idaman setiap orang tua tidak terkecuali seorang ayah termasuk diriku. Jika masa kecilku dulu tidak terlalu banyak dibersamai oleh ayah karena beliau saking sibuknya bekerja, maka aku saat ini sebagai ayah tidak ingin mengulang masa lalu itu terjadi pada anakku.

Seorang ayah, pada umumnya gak patek ngreken perihal pendidikan anak, pendidikan anak lebih dibebankan pada sisi ibu. Kalau dipikir mendalam, mungkin itu sudah tidak relevan lagi di era yang seharusnya generasi seusia kami punya cara pandang berbeda dengan orang tua terdahulu. Sebagai ayah tidak perlu malu dan canggung untuk sekedar join dengan ibu-ibu lain nungguin anaknya sekolah.

Waktu akan terbang begitu singkat, itu adalah kepastian yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Prinsip itu yang menjadikanku sadar betul bahwa membersamai tumbuh kembang dan pendidikan anak adalah bagian dari rencana hidup dan daily basis yang tidak bisa diwakilkan. Bagiku ayah memiliki peran yang sama dengan ibu dalam memplaning dan mengontrol pendidikan anak.

Terlepas ada dogma yang menyatakan bahwa madrasah diniyah seorang anak adalah ibunya sendiri, tentu tidak akan salah jika ayah juga turut andil lebih jauh dan ‘kepo’ soal hari-hari belajar anaknya. Kuncinya adalah tetap kompromi dengan ibunya yang besar kemungkinan lebih tahu apa bakat terpendam anaknya. Semoga gendukku mendapatkan jaminan pendidikan tertinggi melebihi ayah ibunya, aamiin.

Friday, January 19, 2024

OPINI: MENYOAL COPRAS CAPRES 2024

Sebenarnya saya bertekad ingin mengakhiri ketertarikan dengan isu politik copras capresan kali ini. Karena selain banyak mudharatnya juga terlihat sia-sia saat bertarung opini soal siapa capres cawapres paling rasional dan potensial untuk dipilih. Kesia-siaan itu tentu disebabkan oleh akal bebal para pendukung masing-masing paslon. Seperti percuma saja membangun opini tentang siapa figur yang layak dipilih.

Meskipun begitu, tetap saja naluri dalam hati ingin mengutarakan sudut pandang tentang capres cawapres hari ini. Tujuannya adalah mendapatkan orang-orang yang khilaf lalu terpengaruh dengan opini ini. Melalui tulisan singkat ini tanpa bermaksud menguliti keburukan setiap figur capres cawapres, penulis ingin menyajikan opini yang didasarkan fakta sisi negatif setiap figur. Mari disimak.

Figur pertama penulis mulai dari sisi negatif Capres nomor urut 1 yaitu Anies Baswedan. Siapa yang tidak mengenal Anies Baswedan? Capres bergelar Ph.D yang pernah juga menduduki rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan ini tentu dikenal sebagai capres dengan intelektualitas terbaik saat ini. Akan tetapi beliau punya catatan negatif dalam rekam jejaknya di dunia maya.

Anies Baswedan dikenal sebagai figur yang bersama-sama dengan kelompok islam puritan memainkan politik identitas sebagai strategi untuk memenangi pilgub DKI kala itu. Tercatat dalam track record digital, gerbong pendukung Anies Baswedan di kala pilgub DKI 2017 saat itu memainkan politik identitas. Benar tidaknya isu ini, sebagian besar simpatisan lawan politik Anies akan mencatatnya sebagai bad notes.

Selanjutnya tentu adalah cawapres nomor urut 1 yaitu Muhaimin Iskandar atau yang lebih dikenal sebagai Cak Imin. Beliau adalah ketua Partai Kebangkitan Bangsa yang cukup lama menduduki posisi itu. Ingat Cak Imin tentu ingat Gus Dur sebagai pendiri PKB. Catatan negatif mayoritas lawan politik Cak Imin tentu berkaitan soal hubungan Cak Imin dengan Gus Dur dalam perebutan partai waktu itu.

Cak Imin dikenal sebagai sosok yang dalam tanda kutip tega mengkhianati pamannya sendiri yaitu Gus Dur. Pada tahun 2008 saat gonjang-ganjing PKB kala itu Cak Imin dinilai sebagai sosok yang dengan sengaja ‘mengkudeta’ Gus Dur, padahal Cak Imin sendiri merupakan keponakan jauh (ada hubungan kekerabatan) dengan Gus Dur. Situasi inilah yang oleh lawan politik Cak Imin diframing sebagai bentuk nir adab, padahal dalam kalangan pesantren adab sangat didewakan di atas logika dan norma lainnya.

Berikutnya adalah capres nomor urut 2 yaitu Prabowo Subianto. Menteri pertahanan kabinet ‘lurah’ Joko Widodo saat ini tentu bukan orang yang asing dengan kontestasi capres cawapres. 2004 beliau yang saat ini diframing sebagai capres Gemoy ini sudah ikut konvensi capres Golkar dan kalah dengan Wiranto. Kemudian berlanjut 2009 menjadi cawapresnya Megawati, dan dua pemilu berikutnya nyapres dan lagi-lagi gagal juga yaitu di 2014 dan 2019 kemarin. Yang harus diakui hebat adalah semangatnya ingin berkuasa, sangat appreciateable!

Apa catatan negatif Prabowo di masa lalu? Penulis pikir akan menjadi yang terbanyak memiliki catatan buruk jika hendak dijabarkan satu persatu. Mulai isu HAM masa lalu dan seterusnya sampai bahkan detik ini dikenal sebagai Menhan yang ‘gagal’ memimpin proyek besar nasional yaitu food estate di pulau Kalimantan. Syarat korupsi. Penulis tidak akan secara detail menguliti sisi negatif Prabowo Subianto karena hemat penulis netizen sudah tidak asing dengan figur ‘ngeyel’ berkuasa yang satu ini.

Selanjutnya barang tentu adalah cawapresnya Prabowo saat ini. Siapa lagi kalau bukan YMM Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo. YMM adalah Yang Mulia Muda, barangkali pembaca bertanya apa kepanjangannya. Gibran dipilih oleh tim Prabowo karena dianggap sebagai refleksi pemimpin muda atau milenial. Harapannya tentu pemilih muda hari ini akan terpukau dan kesengsem dengan cawapres yang kebetulan seusia. Agak lucu memang situasi konyol ini kenapa bisa terjadi di negara yang terus berstatus berkembang ini.

Gibran dicacat oleh netizen hari ini sebagai sosok planga-plongo jilid dua after bapaknya. Yang terbaru tentu tentang bagaimana dia menghindari undangan debat atau diskusi gagasan yang diselanggarakan oleh para tokoh intelek Muhammadiyah. Selanjutnya yang teranyar adalah bagaimana KPU mengubah aturan secara mendadak bahwa tidak lagi diperlukan adanya debat cawapres. Netizen mengira perubahan mendadak ini adalah pesanan ‘pusat’ agar tidak menjadi ajang mempertontonkan plongoitas (daya plonga-plongo) sosok Gibran Rakabuming Raka.

Figur selanjutnya tentu adalah capres nomor urut 3 yaitu Ganjar Pranowo alias Mas Ganjar. Catatan buruk paling menohok yang diberikan oleh lawan politik Ganjar adalah soal kondisi kemiskinan yang sangat dijiwai oleh masyarakat di setiap sudut Jateng. Secara khusus kasus konflik Wadas yang diselesaikan dengan cara represif juga menjadi catatan negatif Ganjar. Gorengan demi gorengan terkait masalah Wadas ini tak pernah berhenti dilontarkan untuk menyiksa elektabilitas Ganjar Pranowo.

Di samping itu, secara personal Ganjar juga diganjar predikat oleh sebagian netizen sebagai sosok yang ‘porno’ karena pernyataan kontroversinya tentang kebiasaannya menonton bokep alias video porno. Terlepas benar atau tidak, tentu hal ini menjadi catatan negatif tersendiri bagi Ganjar Pranowo di kalangan pemilih milenial.

Last one adalah cawapres nomor urut 3 yaitu Muhammad Mahfudz alias Mahfudz MD yang kebetulan saat ini juga menduduki posisi strategis yaitu Menkopolhukam. Cawapres yang diusung PDIP dan partai koleganya untuk menemani Ganjar Pranowo ini agak sulit dicari rekam jejak negatifnya. Di berbagai literasi internat tidak banyak yang menyajikan data terkait celah negatif sosok Mahfudz MD selain soal ketegasannya membekukan organisasi frontal semacam FPI.

Satu sisi bagi lawan politik Ganjar yang berorientasi pada politik identitas tentu rekam jejak Mahfudz MD yang dengan tegas membubarkan ormas FPI ini akan menjadi bahan gorengan yang renyah. Tapi penulis pikir dampaknya tidak cukup kuat untuk membalikkan fakta bahwa sejauh ini Mahfudz MD adalah figur paling minim cacat di antara capres cawapres lainnya hari ini. Meskipun begitu, bukan berarti Ganjar menjadi aman saat bersanding dengan Mahfuds MD yang mendapatkan tempat di hati banyak netizen ini.

Demikian uraian catatan sisi negatif para capres cawapres hasil literasi penulis di dunia maya. Penulis menyajikan ini bukan dalam rangka membunuh karakter figur-figur yang telah disebutkan, apalagi black campaign. Karena faktanya penulis bukan kader dari partai atau simpatisan capres cawapres mana pun. Penulis hanya ingin menyajikan tambahan wawasan bagi voters khususnya millenial voters agar menjadi semakin tertarik untuk berpartisipasi minimal pasif dalam politik yaitu tidak menjadi golput. Syukur-syukur secara aktif berani menyampaikan opininya.

Salam waras.

Robi Cahyadi
Malang, 2 Desember 2023
Ditemani secangkir kopi di tengah rintik hujan