Kakekku dari garis ibu bernama Mustad, beliau adalah anak dari Mbah Sonorejo yang asal usulnya dari daerah Kedungwaru, Tulungagung. Aku tidak pernah tahu secara detail tentang Mbah Sonorejo, yang aku tahu dari cerita ibu, beliau adalah kakek ibuku yang artinya beliau adalah mbah buyutku.
Meski begitu, yang cukup banyak ku ketahui adalah tentang kakekku dari jalur ibu, beliau bernama Mbah Mustad. Aku masih cukup ingat betul tentang masa tua beliau mengingat beliau dipanggil menghadap Tuhan YME saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar di mana di usia itu ingatan dan kesadaranku sudah cukup baik karena mendekati aqil baligh.
Mbah Mustad adalah piyantun alit sosok yang sangat bersahaja dan pekerja keras, sebagai seorang generasi yang lahir sebelum negeri ini merdeka tentu Mbah Mustad telah banyak mengalami liku kehidupan yang sangat getir juga pahit. Beliau menikahi nenekku Mbah Yupiatun dan setidaknya saat ini tercatat sudah memiliki puluhan cucu termasuk aku, sarjana teknik mesin yang kini menjadi kelas pekerja.
Menurut keterangan ibuku, Mbah Mustad sedari muda sangatlah tampan untuk ukuran orang zaman itu. Perawakannya tinggi dan hidungnya sangat mancung. Mbah Mustad bekerja sangat keras layaknya orang Jawa pada umumnya, beliau bekerja menggarap ladangnya sendiri dan tentunya juga menjadi buruh bagi majikan atau para tuan tanah di desa masa kecilku. Menggarap sawah sendiri sekaligus menjadi buruh ini lumrah dilakukan oleh orang yang sawahnya memang sepetak saja, kira-kira begitu kiasannya.
Pada suatu sore saat aku hendak berangkat mengaji di TPQ yang ada di desaku, tepatnya di rumahnya H. Jamil Mustofa. Aku tidak sengaja bertemu dengan Mbah Mustad, mbahku yang sedang ku narasikan dalam tulisan pendek ini. Saat melalui sebuah jalan kecil yang biasa kami sebut dengan “dalan etan” di desaku, menuju TPQ tepatnya di kebun nanas samping selatan rumahnya Pak H. Wahid juragan kecap, Mbah Mustad bekerja di sore hari yang rindang di sana.
Apa yang dikerjakan oleh beliau? Beliau bekerja mendongkel oyot barongan (akar pohon bambu). Ini tentu adalah pekerjaan super berat, heavy duty work. Mustahil hari ini anak muda yang gagah berotot sekalipun berani mengambil job membongkar oyot barongan. Ada banyak resiko dalam pekerjaan ini, resiko terburuk adalah tidak pernah tahu apakah ada ular berbisa yang sewaktu-waktu menyerang atau barangkali jin penghuni barongan marah dan menyurupinya.
Di usianya yang tidak lagi muda, Mbah Mustad melakukan pekerjaan ini dengan riang dan gembira. Keriangan dan kegembiraan itu tampak melalui lintingan tembakau yang mengepul asap di mulutnya. Tanpa mengenakan pakaian atasan, bermodalkan sebuah cangkul, bedog dan prekul beliau melakukan pekerjaan kasar penuh tantangan ini. Saya mengamatinya langsung, bukan diceritai.
Membekas di hati terdalamku sebagai cucu beliau, bahwa jangan-jangan itulah hakikat dari tanggung jawab seorang laki-laki. Yaitu secara sungguh-sungguh bekerja dalam rangka memperjuangkan kebahagiaan keluarga. Sewaktu kecil itu, aku tak sepenuhnya sadar bahwa itu adalah wujud kemurnian perjuangan. Menginjak dewasa dan hari ini aku semakin sadar bahwa itu adalah teladan tak ternilai yang pernah ku dapati.
Mbah Mustad memberikan teladan yang epik dalam hidupku, meski tidak sampai dewasa aku bersama dan menjumpainya tapi ingatanku cukup bagus untuk mengenang dan dengan jujur merawikan sedikit kisah heroiknya. Kalau dipikir-pikir, saat itu barangkali usia beliau di kisaran 70-an, tapi masih bersedia bekerja sekeras itu. Demi apa dan siapa? Silakan direnungkan.
Lalu, jika cucu-cucunya khususnya diriku kebanyakan mendahulukan sambat dan mengeluh atas keadaan saat ini. Sungguh betapa malu seharusnya diri ini. Dari Mbah Mustad, kakekku di jalur ibu aku mentasbihkan diri bahwa aku adalah seorang cucu proletariat (baca: worker class). Orang-orang pejuang kebahagiaan hidup yang tak kenal lelah sampai akhir hayatnya. Semoga ini adalah jalan menuju surga-Nya.
Alfatihah untuk Mbah Mustad, juga Ibuku. Aamiin 🤲🏽
No comments:
Post a Comment