Oleh: Robi Cahyadi
Tulisan singkat ini penulis dedikasikan untuk diri sendiri yang sedang resah dan berkecamuk dalam pikiran tentang fenomena masifnya pengenaan jilbab di kalangan pelajar. Tidak ada tendensi apapun dalam tulisan ini selain otokritik atas pemahaman penulis terkait jilbab di kalangan pelajar dewasa ini.
Dalam konsistensi pemahaman penulis, jilbab adalah uniform yang seharusnya tidak wajib dikenakan oleh pelajar level sekolah dasar, menengah pertama hingga menengah atas. Penulis tidak mengharapkan sanggahan atas pemahaman ini karena hemat penulis ini adalah fundamental dalam kaidah kemerdekaan berpikir.
Penulis mencoba flashback sekitar lima belas tahun lalu di era sekolah menengah penulis. Di waktu itu penulis mengalami dengan sendiri bahwa secara faktual penggunaan jilbab di kalangan pelajar adalah minoritas. Mayoritasnya pelajar di era itu tidak mengenalan jilbab. Barangkali hanya pelajar Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah yang mengenakannya karena tuntutan regulasinya.
Akan tetapi untuk pelajar sekolah negeri atau pun swasta yang sekolahnya tidak terafiliasi pada Depag (Departemen Agama) dan Islam tidak diatur tentang pengenaan jilbab. Pelajar waktu itu bebas memilih uniform yang ia kenakan tentunya tetap dengan requirements yang sekolah tetapkan.
Dewasa ini, saat penulis amati dengan seksama ternyata budaya lima belas tahun yang lalu itu sudah bergeser. Culture saat ini adalah manjadikan jilbab sebagai uniform normal di semua jenjang sekolah. Bahkan jika boleh claim, saat ini justru sebaliknya yaitu yang berjilbab menjadi mayoritas dan yang non jilbab menjadi minoritas.
Apakah ini pertanda baik? Dari mana justifikasi bahwa ini adalah pertanda baik? Dua pertanyaan dasar ini akan sangat sulit dijawab seketika karena memerlukan perdebatan argumen dan perselisihan pemahaman yang tentunya tidak mudah diadili siapa yang berada dalam posisi benar.
Pada faktanya, hari ini sudah berbeda dengan lima belas atau bahkan dua puluh tahun lalu. Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa perubahan culture dalam masyarakat itu nyata adanya dan kita dituntut untuk agile atas kondisi itu. Penulis lebih memilih kata agile dibanding adaptif, karena adaptif lebih permisif dibanding agile.
Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang membuat fenomena perubahan culture ini terjadi di tengah masyarakat? Tentu tidak lain tidak bukan adalah pemahaman atau firkah (pemikiran) akan suatu value dalam kehidupan beragama. Barangkali masyarakat atau umat saat ini semakin sadar bahwa jilbab adalah kewajiban? Ini pun menurut penulis sangat debatable.
Kembali ke soal sejarah perubahan budaya dalam uniform pelajar. Kita coba runut ke belakang lebih jauh. Kita mahfum di era pra-kemerdekaan yaitu eranya Kartini, bagaimana uniform pelajar pribumi waktu itu? Pakai kebaya yang dibarengi masih memperlihatkan kemolekan tubuh waktu itu barangkali sudah sangat sopan dan penuh value. Betul?
Kemudian setelah era post-kemerdekaan yaitu era orde lama dan order baru, jika kita amati foto-foto orang tua khususnya ibu kita (barangkali) saat jadi pelajar. Mereka mayoritas mengenakan uniform rok pendek dan tanpa jilbab. Sekali lagi, sampai berakhirnya orde baru style-nya masih demikian dan ini menjadi uniform mayoritas.
Pergeseran mulai merangkak terjadi di era reformasi, setelah tumbangnya rezim orde baru. Berbagai arus informasi yang keluar masuk di negeri ini menjadikan masyarakat kita kaya akan firkah (pemikiran atau pandangan). Salah satunya yang giat menginfiltrasi umat adalah pandangan agamawan bahwa jilbab adalah suatu kewajiban.
Di titik inilah mula dari perubuhan culture yang penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini. Kekuatan giringan pandangan ini lah yang menjadikan pelajar hari ini baik di sekolah negeri atau swasta yang tidak terafiliasi pada islam sekalipun ikut terbawa arus deras yang penulis sebut sebagai “fenomena perubahan”. Ya, hari ini jilbab dipakai hampir di segala jenjang sekolah.
Bahkan tidak sedikit juga pelajar yang sebenarnya non-muslim dan tidak ingin mengenakan jilbab atau pelajar islam sekalipun yang ekspektasinya adalah merdeka dalam pemilihan uniform, menjadi terpaksa mengikuti gerakan perubahan culture yang dikomandoi oleh mayoritas. Yaitu berjilbab di sekolah dan akan tetapi menanggalkannya saat di kehidupan luar sekolah.
Sekali lagi, seperti yang penulis jelaskan di awal bahwa ini adalah otokritik atas pemikiran penulisan pribadi. Bahwa ternyata the power of majority movement itu benar nyata adanya. Yang minoritas seringnya akan kalah terseret arus oleh yang mayoritas. Terlepas itu hanya trend dan masifnya pengenaan jilbab oleh pelajar di semua jenjang sekolah tidak selalu linier dengan kebaikan akhlaknya.
Apakah pernah diukur secara kuantitatif dan kualitatif untuk obyektif menyimpulkan bahwa kalimat terakhir tepat di paragraf atas barusan terbukti? Boleh untuk direnungkan. Yang pasti, penulis tidak cukup mampu berlogika dan bernalar jika ada sekolah negeri milik pemerintah yang tidak terafiliasi pada ajaran agama tertentu, yang seharusnya netral dari pewajiban berjilbab lantas membuat regulasi mewajibkan. Semoga tidak ada yang demikian.
Waallahualam bhissowab.
Malang, 25 Juni 2024
No comments:
Post a Comment