Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok
Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13
Januari 1965. Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan
127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia (PII) sedang asyik
membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu
anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu.
Sebagian massa
PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung.
“Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak,” kata
Masdoeqi saat di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid.
“Saya melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata,” tutur
Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari,
pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok
Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan
ditendang ke luar rumah. Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk
Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada
polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota
PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh.
Mereka mengatakan
ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang yang
tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964, memang terjadi
pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang. “Utang Jombang
dan Madiun dibayar di sini saja,” ujar Masdoeqi, menirukan teriakan
salah satu anggota PKI yang menggiringnya. Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI
melakukan penyerangan besar-besaran di Kediri.
Sebelumnya, meski
hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka. Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro menimbulkan
trauma sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri,
yang sebagian besar santri pesantren. Memang kala itu para santri belum
bergerak membalas. Namun, seperti api dalam sekam, ketegangan antara
PKI dan santri makin membara. Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, mengakui
atmosfer permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh sebelum
pembantaian. “Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak,”
katanya. Kubu NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap
kegiatan publik.
Misalnya ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17
Agustus, rombongan PKI dan rombongan NU saling ejek bahkan sampai
melibatkan simpatisan kedua kelompok. Kondisi itu semakin diperparah
oleh penyerbuan PKI ke Kanigoro.
Peristiwa di Kanigoro itu pula yang memperkuat tekad kaum pesantren
dan anggota Ansor di Kediri, termasuk Abdul, menyerang anggota PKI.
Pembantaian mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan bahwa PKI
adalah organisasi terlarang. Abdul dan para anggota Ansor lainnya
semakin yakin bahwa perbuatan mereka benar. “Seperti api yang disiram
bensin, kami semakin mendapat angin untuk memusnahkan PKI,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment