Ilustrasi: Buruh Penebas Tebu |
Jika mendengar tanaman tebu apa yang terlintas di benak anda? Tentu kita akan langsung terbayang segelas es tebu yang rasanya manis dan sanggup melegakan tenggorokan yang haus di bawah teriknya panas siang hari. Atau jangan-jangan kita terbayang betapa lahan tebu terkesan menyeramkan karena sering dijadikan latar pada berita kriminal baik pembunuhan atau pemerkosaan.
Sejarah mencatat tanaman tebu mulai dikenal luas di Indonesia berkat hadirnya kolonialisme Belanda. Indonesia yang kalah itu masih berstatus sebagai Hindia Belanda di awal tahun 1800-an mulai menerapkan tanam paksa khususnya di Jawa yang diprakarsai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah holding company yang sangat super kaya saat itu.
Sistem tanam paksa di Jawa menjadikan masyarakat Jawa yang saat itu lebih mengenal padi sebagai tanaman yang biasa ditanam, menjadi sedikit perlahan bergeser sebagian menanam tebu. Diakui atau tidak memang tebu yang habitat aslinya berasal dari Papua New Guinea ini ternyata sangat cocok ditanam di dataran rendah Jawa. VOC tentu melihat ini sebagai sebuah peluang besar dalam memproduksi gula yang oleh bangsa Eropa kebetulan sangat dibutuhkan.
Harga gula yang relatif baik saat itu membuat VOC sangat berambisi mengubah banyak lahan produktif untuk ditanami tebu dan membangun puluhan pabrik gula di nusantara. Baru setelah tahun 1859 terjadi pembangunan besar-besaran pabrik dalam mengolah hasil tebu terealisasi. Infrastruktur dibangun sangat canggih di jaman itu, rel kereta hingga ke pelosok lahan tebu terkoneksi dengan baik sampai ke pabrik-pabrik.
Dewasa ini ternyata tebu tetap menjadi salah satu andalan PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) dalam menghasilkan keuntungan bisnis. Tercatat menurut rilis resmi PTPN X selaku salah satu anak perusahaan PTPN yang membidangi bisnis pengolahan produk olahan tebu, bahwa produksi gula kristal hasil dari tanaman tebu di tahun 2020 ternyata mampu menembus angka produksi 350 ton gula kristal yang berasal dari 4 juta ton tebu, dengan hasil keuntungan mencapai 100 milyar rupiah per tahun.
Bicara tanaman tebu tentu kita tidak bisa mengesampingkan peran Jawa Timur sebagai lumbung tebu dan produksi gula kristal nasional. Data resmi PTPN menyebutkan untuk saat ini provinsi dengan kepemilikan lahan tebu paling luas di Indonesia adalah Jawa Timur dengan mencapai 65% dari seluruh lahan tebu yang ada di Indonesia atau setara dengan 200 ribu hektar lahan. Ini tentu aset yang sangat berharga untuk Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula kristal nasional.
Dalam ruang lingkup PTPN X saja ada setidaknya sembilan pabrik gula aktif di Jawa Timur, mulai dari PG Krembung di Sidoarjo di sebelah utara hingga ke ujung selatan di Tulungagung yaitu PG Mojopanggung. Belum lagi PG milik PTPN XI yang jumlahnya juga mencapai sembilan pabrik yang tersebar di sekitar Malang hingga PG Semboro di Jember, timur jauh Jawa Timur. Ini merupakan aset nasional yang harus dikelola dengan baik untuk generasi mendatang.
Bicara Kediri sebagai lumbung tebu di Jawa Timur tentu tidak lepas dari keberadaan Kediri sebagai kabupaten dengan peringkat nomor dua kepemilikan luas lahan tebu di Jawa Timur, setelah Malang tentunya. Saat ini tercatat Kediri memiliki serapan produksi gula kristal dari tanaman tebu sebesar 150 ribu ton atau setara 13% produksi tebu di Jawa Timur. Ini yang membuat kita tidak heran jika berkunjung ke pelosok Kediri betapa banyak ditemukan ribuan hektar lahan tebu.
Sebagai anak daerah yang lahir dari orang tua yang terkena imbas positif keberadaan lahan tebu, tentu penulis pribadi sangat bersyukur pernah berada di tengah keluarga yang di awal 90-an cukup kaya raya berkat tanaman tebu. Kebetulan dulu orang tua penulis selain sebagai petani tebu juga merupakan tengkulak tebu yang memiliki kontrak tahunan sebagai vendor di PTPN X yaitu PG Ngadirejo, Kras, Kediri. Meski hari ini sudah tidak lagi menikmati keberadaan positif tanaman tebu tapi setidaknya bagi penulis pengalaman hidup yang manis ini layak disyukuri.
Di wilayah Kediri sendiri tempat lahir penulis yaitu Kecamatan Kras, tercatat di data PTPN X menduduki peringkat tiga kecamatan dengan lahan tebu teluas di Kediri setelah Kecamatan Wates disusul Kecamatan Kandat. Kecamatan Kras saat ini memiliki luas lahan tebu sebesar 1800-an hektar dengan total produksi gula kristal dari serapannya sebesar 211 ribu ton per tahun. Ini angka yang tentu tidak sedikit jika kita konversikan ke dalam uang.
Anggap saja jika harga gula kristal saat ini per kilogram adalah 18 ribu rupiah, maka dengan produksi 211 ribu ton gula yang dihasilkan oleh Kecamatan Kras saja berarti sama dengan rupiah 3.798.000.000.000 alias 3 triliun lebih. Bayangkan perputaran uang sebesar itu untuk sebuah siklus bisnis dan ekonomi di tengah masyarakat, tentu bukan nilai yang kecil. Mestinya ada proses stream yang bisa dipelajari, dipertahankan, dan ditingkatan oleh insinyur ahli pertanian untuk mencapai produksi tebu lebih baik.
Belum lagi produksi gula rumahan atau gilingan tebu untuk menghasilkan gula merah skala kecil, di Desa Karangtalun tempat lahir penulis saat ini tercatat ada gilingan tebu tradisional aktif sebanyak 4 buah. Ini tentu mampu menggerakkan perekonomian desa yang lagi-lagi menurut pendapat penulis harus dipertahankan eksistensinya. Mengingat saat masa kecil penulis dulu tercatat lebih dari 10 buah keberadaan gilingan tebu tradisional termasuk salah satunya adalah milik kakek penulis sendiri yang akhirnya tutup karena gagal mempertahankan eksistensi.
Penulis mengamati betapa problematika petani tebu saat ini adalah soal regenerasi SDM, yang sebenarnya ini adalah problem turunan nasional. Yaitu enggannya anak muda berkecimpung di dalam sektor pertanian karena dianggap tidak menjanjikan faedah finansial di masa mendatang. Tidak cukup banyak anak muda saat ini yang bersedia meniti karir sebagai petani tebu, padahal jelas sekali potensi positif yang sudah disebutkan oleh penulis di paragraf-paragraf awal.
Dari pada bersusah payah menanam tebu yang pengelolaannya sulit dan panennya per 10 bulan atau bahkan setahun sekali, menjadi karyawan swasta atau syukur-syukur bisa menjadi PNS tentu adalah gol utama anak muda saat ini, tidak terkecuali di tanah kelahiran penulis. Adapun jika saat ini masih ada sedikit anak muda yang menekuni bertani tebu, tidak lain karena terpaksa dan tidak ada pilihan, bukan karena benar-benar ingin menyelamatkan komoditas paling membanggakan di wilayah Kediri atau lebih luas lagi Jawa Timur bahkan nasional ini.
Terakhir yang ingin disampaikan penulis adalah bahwa seiring bertambanya tahun, tercatat di data resmi PTPN bahwa produksi tebu PTPN X secara linier terus menurun. Dari tahun 2016 yang mampu memproduksi tebu sebanyak 5,9 juta ton per tahun, menurun landai hingga tahun 2020 hanya mampu memproduksi tebu sebanyak 3.8 juta ton per tahun dan ini akan diprediksi semakin menurun di tahun-tahun mendatang. Miris sekali kan?
Lagi-lagi tren ini juga merupakan turunan dari tren problem nasional di mana produksi hasil pertanian apapun itu mulai dari tembakau, padi, jagung dan lain-lain secara gradual linier menurun tahun demi tahun. Maka jika kemudian impor dilakukan oleh pemerintah demi mencukupi demand dari masyarakat kita sendiri ya ndak usah kaget-kaget amat. Fakta menariknya semakin hari kita memang tidak lagi menjadi negara agraris (pertanian) kok, kita sedang bertransformasi ke negara industri. Lihat saja 10-20 tahun mendatang apa profesi yang paling diinginkan oleh anak-anak kita (mohon yang ini dicatat sungguh-sungguh).
Mengingat ini bukan karya ilmiah, penulis tidak cukup waktu untuk menganalisa dengan baik secara sungguh-sungguh apakah tren ini memang berjalan karena dampak semakin tumbuhnya penduduk (ledakan populasi) yang otomatis membuat minimnya lahan bercocok tanam, atau karena SDM yang semakin hari memang tidak cukup komitmen terhadap keberadaan sektor pertanian nasional. Lihat saja di sekeliling kita, kampus mana yang fakultas pertaniannya terbaik dan ke mana saja kiprah karir lulusannya? Betul bukan?
Semoga menjadi renungan, salam hangat dari Malang.
Robi Cahyadi
Menulis aktif untuk berdongeng ke anak cucu
Malang, 19 September 2021
No comments:
Post a Comment