Setelah cukup lama hidup di Jabodetabek dan kemudian satu tahun lebih ini telah memutuskan menjalani kehidupan di daerah, ada beberapa perbedaan yang sangat mencolok bisa saya simpulkan. Tentunya perbedaan ini bersifat opini, karena bisa jadi menurut versi pandangan orang lain akan berbeda. Seperti apa situasinya?
Picture: Desa vs Kota, sumber; google |
Jabodetabek itu padat penduduk, kekuatannya terletak pada prinsip dasar teori people power, bahwa semakin padat populasi suatu daerah maka semakin luas potensi sumber daya yang ada. Ekonomi sebagai jantung kehidupan berdetak cepat dan mengalirkan segala hal yang dipengaruhinya juga ikut bergerak cepat, budaya, pendidikan, sektor bisnis, perdagangan, dan seterusnya sangat dinamis.
Misal, mula-mula hadirnya teknologi baru, selalu berawal dari sumber daya di Jabodetabek. Yang pertama punya mobil listrik Tesla misalnya, bukan orang Gunungkidul atau Palopo, tapi orang Jakarta. Begitulah kiasannya. Jabodetabek sebagai pusatnya Indonesia tentu sangat disorot oleh media, menjadi sasaran pertama market ekonomi dan teknologi dunia, juga seringkali menjadi barometer standar kehidupan yang manusiawi dari generasi ke generasi.
Jadi sisi positifnya di Jabodetabek itu adalah keserbaadaan, apa pun tersedia, jenis pilihan pekerjaan melimpah ruah tinggal sejauh apa kompetensi manusianya. Pilihan mau ngapain sangat terbuka lebar, suka-suka lah intinya. Akses transportasi ke mana saja sangat mudah ditemui. Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia sangat cepat, semua orang bergerak cepat memastikan hari ini, esok, lusa dan seterusnya lambung tetap mencerna. Kompetitif!
Di daerah cenderung slow motion, bergerak lambat, orang-orang cukup santai menjalani kehidupan
sewajarnya. Tidak semuanya serba ada, kadang-kadang harus ke tempat yang relatif cukup jauh saat menginginkan sesuatu. Kemudian tidak banyak ragam pilihan pekerjaan dan hal lainnya, karena perputaran ekonomi tidak secepat Jabodetabek. Tidak sembarang orang bisa dengan mudah bebas memilih ingin ngapain dan bekerja suka-suka.
Ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi untuk tetap bisa eksis dengan culture slow motion-nya khas daerah ini. Misalnya secara sederhana berasal dari latar belakang keluarga yang berkecukupan, berkapital cukup. Atau misalnya lagi jika pun tidak berkapital cukup, dengan pergerakan lambat seadanya tapi tidak menuntut hasil seprogresif seperti di Jabodebatek. Di situ letak kunci eksistensi orang yang hidup di daerah.
Di daerah menawarkan sisi positif yaitu situasi yang lebih santai dan kondusif dalam berbagai hal, terutama soal ritual ibadah. Karena tidak banyak orang yang bekerja di sektor formal di korporasi, maka ibadah yang dikemas dalam bentuk kultural ceremonial sangat sering terjadi. Sebentar-sebentar kenduren, tahlilan, pengajian, berkatan, kenyang. Soal apakah pencernaan bekerja atau tidak, pada prinsipnya tidak terlalu merisaukan.
Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa hidup di mana pun pada dasarnya akan sama saja, baik di megapolitan seperti Jabodetabek atau di daerah seperti pinggiran Kab. Malang tempat saya saat ini hidup. Selama bersedia aktif bergerak, terlepas lambat atau cepat pergerakan itu niscaya kehidupan tetap akan berjalan sewajarnya. Jika pasif tidak ada pergerakan, ya pastinya akan stagnan di posisi tersebut. Justru bisa-bisa dikatakan mundur karena obyek lainnya sedang bergerak ke depan. Ini persoalannya.
Malang, 3 Februari 2021
Robi Cahyadi
Dipenuhi cuaca hujan dan angin berintensitas tinggi
No comments:
Post a Comment