Bincang-bincang soal pelayanan moda transportasi di Indonesia sepertinya menjadi topik yang cukup menarik untuk disimak oleh anak muda, khususnya moda transportasi kereta api di bawah naungan dan monopoli satu perusahaan plat merah kita yaitu PT. KAI. Terlihat jelas semakin hari tertunjukkan geliat perubahan demi perubahan yang signifikan baik dari sisi kualitas pelayanannya itu sendiri atau dari sisi kuantitas perjalanan sebagai jawaban atas tingginya okupansi relasi antarkota khususnya di Pulau Jawa.
Sejarah mula-mula begini ceritanya, perkerataapian di Indonesia ditandai dengan pengambilalihan kereta api dari kekuasaan Jepang, pada tanggal 28 September 1945 diiringi dengan pembacaan dan pernyataan sikap oleh sejumlah karyawan perusahaan kereta api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) dan Ismangil (tokoh AMKA). Pada hari itu juga kekuasaan perkeretaapiaan sudah berada di tangan bangsa Indonesia sehingga jepang sudah tidak memiliki hak untuk campur urusan terhadap perkeretaapian di Indonesia.
Dilandasi pengambilalihan kekuasaan itu, hari Kereta Api ditetapkan pada tanggal 28 September 1945 serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Semasa orde lama nama DKARI berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Lalu, pada tanggal 15 September 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Kemudian lagi pada tanggal 2 Januari 1991 PJKA kembali berubah nama menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).
Pada tanggal 1 Juni 1999, Perumka mulai menunjukan keterbukaannya dan berubah menjadi PT. Kereta Api (Persero). (PT. KA). Pada bulan Mei 2010 di bawah leadership Ignasius Jonan kala itu nama PT. KA berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) (PT. KAI) hingga sekarang. Perkeretaapian di Indonesia sama halnya seperti perubahan namanya mengalami perubahan dari sisi infrastrukrur, fasilitas dan layanan agar dapat menjadi lebih baik lagi tentunya.
Hasrat peningkatan dari pelayanan kereta api merupakan kemauan dan juga keinginan berbagai pihak, utamanya konsumen tentunya. Hal ini dikarenakan kereta api adalah transportasi masal yang mampu mengangkut banyak penumpang secara bersamaan melebihi pesawat terbang dan juga harganya yang cukup terjangkau oleh kalangan mayoritas masyarakat Indonesia, walaupun dalam rentang waktu, kereta api membutuhkan lebih banyak waktu dalam sekali perjalanan dibandingkan saat memilih menggunakan pesawat terbang.
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini, tidak menjadi masalah jika harus memilih menggunakan moda transportasi kereta api. Meskipun kita ketahui bersama tidak mudah pula prosedur mulai dari awal pembelian tiket hingga sampai pada titik naik kereta api itu sendiri. Moderenisasi pembelian tiket menggunakan aplikasi online dan juga cara membayar via transfer ataupun pembelian langsung di agen resmi sebut saja minimarket misalnya, tentu ini menjadi hal yang bisa dipandang dua sisi. Antara mempermudah konsumen dan bisa juga dipandang menyulitkan bagi mereka yang gagap teknologi seperti kalangan usia sepuh tentunya.
Mari penulis ajak untuk menuju ke persoalan inti sesuai judul tulisan ini yaitu pelayanan "wagu" kondektris KAI. Wagu itu istilah dalam bahasa Jawa, jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti aneh, gak pada umumnya, atau berbeda. Silakan pilih padanan kata yang sesuai dengan selera masing-masing. Intinya "wagu" itu aneh.
Merujuk pada detail SOP (Standard Operation Procedure) untuk kondektris keluaran resmi PT. KAI disebutkan banyak hal terkait apa saja yang menjadi kewajiban kondektur/kondektris dalam melaksanakan tugasnya. Oh iya ngomong-omong kondektris itu merupakan sebutan untuk kondektur jika dia berkelamin wanita (petugas awak kereta api wanita). Ada satu bunyi SOP yang kurang lebih esensinya adalah ada kewajiban bagi kondektur/kondektris untuk lakukan cek tiket saat perjalanan kereta api telah dimulai selambatnya sepuluh menit setelah kereta api diberangkatkan dari stasiun awal. Poin ini yang ingin penulis coba pertanyakan dalam tulisan sederhana ini.
Hari ini, 30 April 2018 penulis melakukan perjalanan (sebut saja mudik) dengan kereta api dengan relasi Stasiun Pasar Senen - Stasiun Malang menggunakan kereta api Majapahit yang diberangkatkan dari stasiun Pasar Senen tepat pukul 18.15 WIB. Mula-mula tidak ada persoalan yang bagi kaca mata penulis terlihat "wagu". Sama sekali tidak ada kewaguan saat kereta diberangkatkan hingga sampailah pada kurang lebih sepuluh menit sesaat setelah kereta api diberangkatkan.
Kebetulan penulis duduk di kereta nomor lima dengan nomor kursi 7D. Di kursi nomor 7A yang berseberangan dengan penulis terdapat seorang penumpang yang pada akhirnya diketahui beliau adalah aparatur negara yang dalam hal ini beliau adalah anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia). Keanehan itu terjadi dan dialami pada bapak TNI ini, saat semua penumpang didiamkan oleh kondektris yang saat itu lakukan cek tiket, bapak TNI ini justru bukan sekedar diminta untuk menunjukkan tiketnya. Tapi juga sekaligus ada permintaan dari kondektris untuk menunjukkan KTP. Di sini letak kewaguan itu.
Kembali merujuk pada SOP kondektur/kondektris tadi tentunya hal ini merupakan bentuk penyimpangan dari detail tugasnya. Tidak ada penjelasan yang mengharuskan penumpang untuk menunjukkan KTP dan disesuaikan dengan tiket yang dipegang oleh penumpang. Dalam kasus yang penulis lihat itu minimal ada tiga hal yang harus dicermati dan dijadikan pekerjaan rumah oleh PT. KAI dalam melayani konsumennya. Khususnya tentu terkait evaluasi job deskripsi para kondektur/kondektrisnya.
Pertama, kenapa harus ada cek kesesuaian KTP dengan tiket dan itu dijalankan oleh kondektris secara sampel acak? Alias tidak kesemua penumpang diperlakukan sama? Bagaimana dengan perasaan bapak TNI tersebut? Tanpa harus melebaikan masalah ini penulis pikir ini bentuk diskriminatif yang nyata. Jika beralasan itu adalah prosedur yang harus dijalankan oleh kondektris tersebut sesuai SOP. Pertanyaannya SOP poin yang mana?
Kedua, saat sudah memasuki dan kereta api telah berjalan, tujuan atau fungsi cek kesesuaian KTP dan tiket itu untuk apa? Jika beralasan ini adalah bentuk pencegahan dan sekaligus untuk keamanan serta kenyamanan penumpang, bukankah saat memasuki peron saja sudah dilakukan validasi pengecekan kesesuaian KTP dengan tiket calon penumpang oleh petugas pintu masuk peron? Halo? Kenapa harus ada pekerjaan dobel yang seribet ini? Kondektris yang rata-rata bergaji enam juta rupiah tersebut kurang job deskripsikah? Apa ini semata-mata karena budaya kita memang ribet dan berbelit-belit di urusan birokrasi? Please generasi milenial harus pangkas budaya njelimet ini.
Ketiga, jika saat membeli tiket saja sudah harus menyertakan nomor induk KTP (saat ini mayoritas sudah E-KTP yang databasenya tentu valid) dan pada akhirnya tercantum di tiket? Bukankah yang dilakukan kondektris tadi bukan lagi sekedar dobel cek? Melainkan itu sudah triple cek (validasi ketiga)? Coba hitung sendiri. Jika pembaca memilih menggunakan moda transportasi pesawat terbang misalnya, mana ada cek validasi seribet ini? Bener kan? Ayolah KAI benahi sistem ribet ini. Cukup sekali validasi di pintu masuk peron, penulis pikir itu sudah lebih dari cukup. Jangan biasakan budaya ribet birokrasi seperti ini berlanjut pada generasi milenial. Ribet itu cukup miliknya generasi orde baru saja deh. Eh.
Terlepas dari persoalan kecil yang penulis sajikan tersebut di atas tentu upaya PT. KAI dalam menunjukkan keinginan dan gairah berbenah dalam pelayanan patut diapresiasi. Konsumen hanya bisa mengkritisi tentu dengan masukan sumbangsih saran dan juga kritikan yang semata-mata bertujuan agar PT. KAI semakin lebih baik dan lebih baik lagi ke depannya. Sekali lagi pesan penulis adalah, hilangkan prosedural birokrasi ribet tersebut dan cari serta ganti dengan sistem yang lebih ringkas tanpa mengurangi substansi tujuan validasi tiket dengan penumpang tersebut.
Oh iya, sekali lagi benar-benar "wagu" bukan?
Waallahu a'lam bisshowab.
(Allah-lah yang segala maha mengetahui).
(Allah-lah yang segala maha mengetahui).
No comments:
Post a Comment