Ruwiya an syaikhona…
Suatu ketika ada Kang Dul santri yang sudah lama tinggal di rumah karena telah lulus/boyong dari pondok, Kang Dul ini belum menikah dan alhamdulillah sehari-harinya bermanfaat untuk mulang ngaji anak-anak di langgar kampung dan sekaligus madrasah sederhana milik abahnya sendiri.
Di suatu kesempatan Kang Dul ini mendapatkan undangan dari almamaternya yaitu pondok pesantren yang pernah ia tempati dulu untuk menempa ilmu dan kedewasaan. Undangannya berupa haflah alias pesta reuni temu sesama alumni.
Tentu sangat girang dan bahagia sekali mendapatkan undangan haflah semacam itu, terbayang akan bertemu dengan banyak teman-teman satu alumni pondok dan akan ada banyak tawa bahagia mengingat masa-masa suka duka sewaktu nyantri.
Tapi _kersanengalah ndilalah_, saat meminta izin ternyata abahnya tidak mengizinkan Kang Dul ini berangkat ke haflah di pondoknya yang kebetulan di luar kota, karena diminta untuk tetap mulang arek-arek cilik ngaji sore di madrasahnya. Walhasil Kang Dul ini galau gak karuan.
Lalu sampai hari H tiba, hari H haflah itu Kang Dul tetap nekat berangkat pamit ke acara undangan haflah tersebut, dan membadalkan (mewakilkan) jadwalnya mulang ngaji arek-arek ke guru ngaji yang lain. Kang Dul nekat berangkat dengan alasan hasil ijtihad dalam hatinya adalah hormat/takdzim ke kyai di pondok almamaternya adalah keharusan.
Selepas selesai dan pulang dari menghadiri haflah tersebut, abah Kang Dul ini dengan wajah dingin bertanya. “Kowe wingi lak wis tak kandani gak usah menyang haflah, merga kowe wis wani mbantah abah, kowe kudu dihukum, paham ora?”
Kang Dul masih sempat beralasan nana-nini-ninu ke abahnya dengan hujjah/argumentasi ingin takdzim ke kyainya di pondoknya dulu. Ingin silaturahim juga dengan teman-teman seangkatannya dan seniornya dulu, intinya merasa apa keputusan yang dilakukannya adalah kebaikan.
Abahnya lalu menyuruh Kang Dul mengambil kitab durotun nasihin di almari koleksi kitab-kitab abahnya yang berada di ruang tamu. Abahnya dengan nada tinggi menyuruh Kang Dul membuka halaman bab birrul walidain (taat pada orang tua), “Woco, kuwi woco!” Sergah abah Kang Dul, “Paham pora kowe?”.
Kang Dul manthuk-manthuk ndredeg ketakutan, gak bisa ngomong apa-apa lagi selain hanya ndingkluk nggah-nggih. Karena Kang Dul juga sedikit banyak paham apa kandungan di kitab durotun nasihan pada bab/fasal birrul walidain itu. Membenarkan itu.
Lalu abah Kang Dul lanjut menjelaskan/ndukani dengan bilang, “aku iki yo wong tuwomu yo gurumu le!”, “Kowe cilik tak wulang syahadat, tak wulang iqro’, tak wulang fatihah, tak wulang andhap ashor lan toto kromo”. “Opo rumangsamu gurumu iku cuma kyaimu ndek pondok pesantren? Aku iki yo gurumu!”.
Kang Dul diam meneng klecep gak bisa mbantah lagi amarah abahnya. Kang Dul meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi lagi kejadian serupa di kemudian hari.
Ibrahnya (pelajarannya) apa yang bisa diambil dari sepenggal kisah ini?
Bila panutanmu itu benar dan perintahnya tidak bertentangan dengan syariat, maka wajib hukumnya taat terhadapnya. Anggap lah kamu ingin sangat takdzim dengan gurumu, tapi jika itu harus melalui fase mengecewakan orang tuamu yang notabene juga gurumu, sebaiknya ijtihad ulang tentang apa makna dari sami’na waata’na.
Wallahualam bhissowab…
Ditulis oleh:
Robi Cahyadi
(Santri kalong ngaji YouTube)
No comments:
Post a Comment