Tulisan ini berangkat dari ide liar untuk mengkaji secara singkat bagaimana sulitnya menjadi orang tua. Setelah dua insan orang dewasa memutuskan untuk membangun rumah tangga, tentu orientasi selanjutnya adalah memiliki anak dan seterusnya. Pada umumnya karena trend seperti itulah kenapa disebut sebagai rumah tangga. Artinya memang perlahan naik anak tangganya satu demi satu.
Jika langkah di tangga pertama dalam berumah tangga adalah menikah, banyak dari suami istri yang memutuskan tangga ke dua adalah memiliki anak. Selanjutnya tangga ke tiga barangkali memiliki rumah beserta isinya, dan tangga ke empat adalah menyekolahkan anak hingga jenjang tertinggi, disusul tangga ke lima menikahkan anak alias mantu dan seterusnya, seterusnya, seterusnya sampai anak tangga terakhir yaitu kematian.
Mungkin tidak semua orang akan memilih dan memiliki urutan anak tangga yang sama, sangat mungkin berbeda-beda antar satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya. Melalui tulisan di status facebook ini penulis ingin mengajak pembaca menyelami gagasan penulis dalam anak tangga ke empat seperti yang dijelaskan pada paragraf ke dua tulisan ini, yaitu menyoal menyekolahkan anak.
Ilustrasi Seorang Guru Sumber: Google Picture |
Hari-hari ini merupakan awal musim liburan sekolah di semester genap tahun ajaran 2021/2022. Semester gasalnya tentu adalah Juli-Desember tahun lalu, benarkah? Mohon dibantu untuk mengoreksinya jika tidak tepat. Menjelang musim liburan ini tentu para wali murid tidak mungkin melewatkan yang namanya raporan anak-anaknya. Karena tahun ajaran di semester genap adalah akhir dari setiap tahapan dalam kelas belajar.
Maka untuk orang tua murid pastinya lebih antusias dengan akhir semester genap ini jika dibanding dengan semester ganjil. Di akhir semester genap ada yang namanya kenaikan kelas, pengambilan jurusan barangkali yang berada di kelas 2 SMA atau sekarang penentuan jurusan sudah sedari kelas 1? Bahkan juga adanya kelulusan yang disertai bagaimana tegang dan sibuknya mencari jenjang sekolah baru atau kampus baru bagi lulusan sekolah menengah atas.
Mengingat situasi semester genap se-hectic itu maka di minggu-minggu ini menjadi hari yang cukup menguras energi bagi para orang tua murid. Di berbagai kesempatan penulis mendapati cerita-cerita tentang bagaimana ada orang tua yang sedang dalam situasi sibuk mencarikan sekolah lanjutan untuk anaknya, sedang sibuk menerima rapor dan mengevaluasi hasil belajar anak-anaknya.
Yang membuat tertarik penulis menuangkan gagasannya dalam status facebook ini tentu tidak lain tidak bukan adalah dipicu karena ternyata di tahun 2020-an ini masih ada dan barangkali banyak juga praktik gratifikasi ke guru oleh orang tua murid. Penulis memilih kata gratifikasi karena sesuai definisinya yaitu pemberian (dalam arti luas). Bisa pemberian uang, barang, cindera mata dan lain sebagainya atas dasar berterima kasih.
Tentu sepintas jika diperhatikan hal ini sangatlah bagus. Ada sebuah simbiosis yang dikemas dalam hubungan sosial alias habblumminannas antara wali murid dan guru. Sepertinya ada tradisi di mana orang tua murid berterima kasih kepada guru setelah satu tahun ajaran sekolah membantu anak-anaknya berjibaku dengan ulangan harian, ujian middle semester, ujian semester gasal dan akhirnya selesai di genap dan lulus atau naik kelas misalnya.
Tapi apakah tradisi gratifikasi oleh wali murid ke guru di year end of education period ini bisa diglorifikasi (dimuliakultuskan) untuk jangka panjang dan seterusnya? Penulis pikir tidak bisa dan tidak perlu sampai pada titik terglorifikasi. Bukan penulis anti terhadap habblumminannas antara wali murid dengan guru, bukan. Tapi penulis lebih menitikberatkan pada efek samping jangka panjang kegiatan gratifikasi ini.
Memuliakan guru-guru yang telah mendidik anak-anak tentu adalah sebuah keharusan, dan sudah semestinya dicontohkan oleh wali murid pada anak-anaknya. Tapi caranya bukan dengan gratifikasi. Ada cara lain yang bisa ditempuh dan menurut hemat penulis jauh lebih soft effect. Efeknya ndak senegatif jika dibanding memberikan gratifikasi dalam bentuk benda duniawi. Gratifikasi dalam bentuk ini tidak lain hanya akan menjadi media tumbuh bersemainya budaya korupsi di kemudian hari.
Penulis kira hal yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam mengajarkan memuliakan guru kepada anak-anaknya adalah dengan cara memastikan anak-anaknya taat dan hormat pada gurunya dalam arti sebenarnya. Wali murid harus sepenuhnya bertanggung jawab atas pendidikan di luar sekolah anak-anaknya, karena bagaimana pun karakter dominan akan terbentuk di rumah bukan di sekolahan. Ini yang harus disepakati bersama.
Dalam alquran dijelaskan di surat ke 31 yaitu surat Al-Luqman tentang bagaimana seoarng Luqmanul Hakim mendidik anak-anaknya. Luqman al Hakim dikisahkan merupakan seorang tukang kayu berhidung mancung (seperti kisah pinokio barangkali ya) yang memiliki wawasan islam dan kebijaksanaan tinggi dalam mendidik anak. Seperti apakah yang Luqman al Hakim contohkan dalam mendidik anak?
Pertama, Luqman al Hakim meminta agar anak-anaknya tidak menyembah selain hanya kepada Allah SWT (pendidikan tauhid alias keimanan). Ke dua, mendidik anak-anaknya untuk menjauhi yang munkar dan agar senantias menjadi orang sabar. Ke tiga, mendidik anak-anaknya untuk tidak berbuat angkuh dan sombong. Ke empat mengajarkan anak-anaknya untuk selalu berbakti pada orang tua dan guru-gurunya. Ajaran ke empat ini lah yang seharusnya menjadi tanggung jawab wali murid untuk memastikan anak-anaknya santun dan hormat kepada gurunya.
Apakah ini mudah? Tentu tidak. Penulis masih beranggapan bahwa strategi parenting (pola asuh) yang tepat bagi wali murid terhadap anak-anaknya merupakan salah satu hal yang tidak sederhana. Butuh tirakat tingkat tinggi di level ini, tidak cukup hanya dengan mengikuti teori parenting education di seminar atau webinar yang banyak kita temui di era sekarang ini. Tapi barangkali diperlukan usaha langit sebagai ikhtiar untuk lembutnya attitude anak-anak.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa selain menjadi benih dan media penyemaian korupsi di masa mendatang, gratifikasi yang diglorifikasi di akhir semester genap tahun ajaran sekolah seperti ini tidak lah cukup fair bagi kebanyakan masyarakat kelas menangah ke bawah. Bagi yang kebetulan orang tua murid memiliki penghasilan baik, mungkin dengan mudahnya memberikan cindera mata untuk guru anak-anaknya. Sementara bagi orang tua yang untuk bayar SPP secara rutin saja sulit, lalu mau bagaimana? Rusak kompleks lah tatanan pendidikan kita.
Salam hangat dari Malang,
Minggu, 26 Juni 2022
Robi Cahyadi
No comments:
Post a Comment