Stakeholder (pihak yang berkepentingan) di negara maju seperti US, Germany, Jepang, China, India dan lainnya sedang berlomba ketat untuk temukan vaksin Covid-19, Indonesia juga tidak ingin kalah, uji coba vaksin pun dilakukan dengan membeli vaksi dari China. Konon kabarnya uji coba di Indonesia sudah memasuki fase 3 dan jika sukses tahun 2021 sudah dapat memproduksi massal, ini tentu kabar yang sound good, terdengar baik.
Akan tetapi kita semua tahu di sisi lain sementara ini masyarakat masih banyak yang berdebat dan mendebatkan hal yang seharusnya tidak perlu, masyarakat masih sibuk berkutat mencari pembenaran bahwa apakah Covid-19 itu nyata atau hanya sekedar konspirasi elit global. Ini sungguh energi besar yang sia-sia terbuang begitu saja, apalagi banyak anak muda publik figur yang menyuarakannya.
Sampai kapan kemudian warga bangsa ini hidup di bawah kegelapan? Kita ini sering merasa sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi peradaban dan kultur, padahal salah satu kultur yang sebenarnya sedang kita langgengkan adalah budaya mencari atribusi (penghargaan) di mata orang lain. Disadari atau tidak begitulah realita yang terjadi saat ini.
Quotes Gus Dur, credit: NU Online |
Tidak jarang orang-orang yang bukan ahlinya terus-terusan berbicara ngalor ngidul soal perihal yang sebenarnya mereka tidak tahu sama sekali. Politisi bicara dunia medis, aparat keamanan dan ketertiban bicara konsep agama dalam penanganan Covid-19, pemusik bicara sains dan teori-teori konspirasi, dan seterusnya. Terus begitu sampai pernyataan yang sesungguhnya bias terulang-ulang sehingga kemudian menjadi biasa. Gus Mus (Kyai Mustofa Bisri) pernah mengingatkan berkali-kali, “bicaralah sesuai porsi kemampuan saudara.”
Masyarakat pun juga demikian gegabah dan dengan mudahnya menerima mentah semua serapah yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak ahli tersebut. Bahkan sering kali dijadikan kutipan untuk kemudian dipamerkan kepada orang lain dalam kerangka hubungan sosial. Dengan gawai pintarnya melalui jempol dan jemarinya sangat mudah masyarakat kita mengakses informasi yang salah kaprah. Grup WA keluarga kadang isinya banyak berupa repost broadcast informasi yang sebenarnya sampah dibanding informasi yang obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
Nafsu angkara murka adalah penyebab semua ini bisa terjadi. Manusia selalu haus atribusi, ingin dipandang, butuh perhatian, ingin diikuti oleh orang lain, ingin dikagumi dan seterusnya. Itulah watak dasar manusia yang berasal dari sisi gelap sanubari alam kejahatan. Setan tak benar-benar hanya berwujud api seperti kiasan selama ini, seringkali malah berwujud manusia dalam berbagai sifat sikapnya yang hina.
Dalam rangka menyikapi Covid-19 penulis mengajak semua pembaca agar benar-benar berupaya obyektif dalam melihat persoalan. Menempatkan diri dan pikiran di tengah-tengah (seimbang) adalah sebuah keharusan. Perbanyak referensi membaca sehingga menjadi input positif ke otak adalah salah satu cara paling mudah digunakan. Banyak lembaga kredibel yang dapat dirujuk sebagai pedoman untuk menempatkan sikap terbaik kita dalam menyikapi Covid-19.
Terakhir, semoga kita semua selalu berusaha menjaga diri dari terkena wabah ini dengan melakukan yang sudah umum disarankan, yaitu menjaga jarak dengan orang lain, menggunakan masker sebagai pelindung diri, cuci tangan sesering mungkin, paparkan badan ke sinar matahari pagi dan penuhi badan dengan asupan makanan bergizi. Juga sehatkan mental dengan meditasi religi sesuai cara masing-masing. Semoga Covid-19 segera berlalu dan menyisakan cerita saja. Yok bisa yok!
Mojosari
Penghujung Juli 2020
No comments:
Post a Comment