Tidak jarang masyarakat di kampung di desa-desa lebih memilih menyewakan atau bahkan menjual ladangnya demi menyekolahkan anak-anaknya hingga level tertinggi. Atau sering juga kita temui beberapa kasus orang tua menjual ladangnya untuk membayar bidikan agar anaknya diterima di Universitas ternama, bisa menjadi tentara, polisi, atau PNS misalnya. Atau bahkan untuk sekedar bisa menerbangkan anak-anaknya ke Korea atau Jepang sebagai expatriat Indonesia (baca: TKI)!
Fenomena ini umum terjadi di masyarakat Indonesia khususnya Jawa yang dihuni jutaan manusia dan menjadi wilayah dengan tingkat kompetisi hidup paling menegangkan. Itulah jawaban sederhana kenapa orang Jawa menyebar di seluruh penjuru pelosok negeri. Ekosistem telah membawa kepada situasi di mana benar-benar menjadi kelas pekerja adalah gol bagi masyarakat Indonesia. Orang tua lebih bangga melihat anaknya menjadi seseorang dengan menyandang status pekerja. Martabatnya seolah berada di sini.
Ini fakta dan paradigma yang sangat sulit diubah, bagi masyarakat menengah ke bawah yang dipenuhi keraguan akan masa depan akan memilih jalan tersebut sebagai golnya dalam kehidupan. Harapannya tentu di kemudian hari saat sudah berada di level sukses sebagai pekerja, maka akan ada upaya untuk kembali membeli ladang yang telah terjualnya. Orang tua diam dalam cemas, berharap dalam doa anaknya akan mampu berbuat demikian. Tapi memang tidak banyak yang bersedia mengungkapkan secara terang.
Memang betul pendidikan adalah salah satu upaya untuk mentas dari zona kemiskinan. Itu adalah formula yang sangat umum dan dilegitimasi oleh para sarjana dan ilmuwan. Dengan pendidikan diharapkan manusia dapat berkompetisi di tengah lapangan besar bernama peperangan memperjuangkan status duniawi. Manusia berlomba-lomba untuk berhasil lepas dan memenangkan pertarungan itu. Tidak jarang banyak yang putus asa berguguran di tengah jalan.
Berabad-abad yang lalu saat ekosistemnya belum demikian, manusia cukup bertarung dengan alam. Pergi ke hutan mencari buruan atau bercocok tanam ke ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup terdasar yaitu makan. Lain dulu lain sekarang, siap atau tidak memang demikian ini keadaan manusia zaman sekarang. Tidak ada yang salah dan tidak perlu menyalahkan siapapun, jika ingin bertahan di ekosistem sudah sepatutnya mengupayakannya. Jika tidak bersedia berkompetisi di ekosistem, mungkin sudah saatnya pindah ke lain ekosistem, yaitu alam akhirat.
Semoga menjadi renungan bagi yang membaca dan menjadi pelecut semangat di kemudian hari, bahwa seyoganya ikhtiar dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dan pasrah pada hasil adalah tugas kita sebagai manusia sekaligus hamba-Nya. Wallahua’lam bishowab.
Robi Cahyadi
No comments:
Post a Comment