Kekaguman
para sahabat dan murid-muridnya tak menggetarkan pribadi Hasan
al-Bashri untuk tetap hidup penuh kesederhanaan. Di rumah susun yang
tidak terlalu besar ia tinggal bersama istri tercinta. Di bagian atas
adalah tempat tinggal seorang Nasrani. Kehidupan berumah tangga dan
bertetangga mengalir tenang dan harmonis meski diliputi kekurangan
menurut ukuran duniawi.
Toleransi Beragama |
Di dalam
kamar Hasan al-Bashri selalu terlihat ember kecil penampung tetesan air
dari atap kamarnya. Istrinya memang sengaja memasangnya atas permintaan
Hasan al-Bashri agar tetesan tak meluber. Hasan al-Bashri rutin
mengganti ember itu tiap kali penuh dan sesekali mengelap sisa percikan
yang sempat membasahi ubin. Hasan al-Bashri tak pernah berniat memperbaiki atap itu. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya.
Jika dirunut, atap kamar Hasan al-Bashri tak lain merupakan ubin kamar
mandi seorang Nasrani, tetangganya. Karena ada kerusakan, air kencing
dan kotoran merembes ke dalam kamar Sang Imam tanpa mengikuti saluran
yang tersedia.
Tetangga Nasrani itu tak bereaksi apa-apa tentang
kejadian ini karena Hasan al-Bashri sendiri belum pernah mengabarinya.
Hingga suatu ketika si tetangga menjenguk Hasan al-Bashri yang tengah
sakit dan menyaksikan sendiri cairan najis kamar mandinya menimpa
ruangan Hasan Al-Bashri.
“Imam, sejak kapan engkau bersabar dengan semua ini,” tetangga Nasrani tampak menyesal.
Hasan al-Bashri hanya terdiam memandang, sambil melempar senyum pendek.
Merasa tak ada jawaban tetangga Nasrani pun setengah mendesak. “Tolong
katakan dengan jujur, wahai Imam. Ini demi melegakan hati kami.”
Dengan suara berat Hasan al-Bashri pun menimpali, “Dua puluh tahun yang lalu.”
“Lantas mengapa engkau tidak memberitahuku?”
“Memuliakan tetangga adalah hal yang wajib. Nabi kami mengajaran,
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah
tetangga’. Anda adalah tetangga saya,” tukasnya lirih.
Tetangga Nasrani itu seketika mengucapkan dua kalimat syahadat.
No comments:
Post a Comment