Ia
masih seorang bocah yang duduk di bangku kelas 3 SD. Suatu kali ustadz
di kelasnya memotivasi para siswa untuk menjaga shalat jamaah subuh.
Bagi si anak, shalat subuh sulit dilakukan secara berjamaah di masjid.
Namun kali ini sang bocah bertekad menjalankan shalat subuh berjamaah.
Lalu dengan cara bagaimana anak ini memulainya?
Dibangunkan ayah? Ibu? Dengan alarm? bukan!
Sang
anak nekat tak tidur semalaman lantaran takut bangun kesiangan.
Semalaman anak begadang, hingga tatkala adzan subuh berkumandang, ia pun
ingin segera keluar menuju masjid.
Tapi,
tatkala ia membuka pintu rumah, suasana sangat gelap, pekat, sunyi,
senyap. Membuat nyalinya ciut. Taukah Anda apa yang ia lakukan kemudian?
Tatkala itu, sang bocah mendengar langkah kaki kecil dan pelan, dengan
diiringi suara tongkat menghentak tanah. Ya, ada kakek-kakek berjalan
dengan tongkatnya. Sang bocah yakin, kakek itu sedang berjalan menuju
masjid.
Maka ia mengikuti di belakangnya, tanpa sepengetahuan sang kakek. Begitupun cara ia pulang dari masjid.
Bocah
itu menjadikan itu sebagai rutinitas keseharian; begadang malam lalu
shalat subuh mengikuti kakek-kakek. Dan ia tidur setelah subuh hingga
menjelang sekolah. Orang tuanya tidak ada yang tahu, selain hanya
melihat sang bocah lebih banyak tidur di siang hari daripada bermain.
Dan ini dilakukannya agar bisa begadang malam.
Hingga suatu kali.
Terdengar
kabar olehnya, kakek yang bisa diikuti itu meninggal. Sontak, si bocah
mennangis sesenggukan. Sang ayah heran dan bertanya, “Mengapa kamu
menangis, nak? Ia bukan kakekmu, bukan siapa-siapa kamu!.
Saat si ayah mengorek sebabnya, sang bocah sembari menangis spontan berkata, “Kenapa bukan ayah saja yang meninggal?”
“A’udzu billah, kenapa kamu berbicara seperti itu, nak?” kata sang ayah heran.
Si bocah berkata, “Mendingan ayah
saja yang meninggal, karena ayah tidak pernah membangunkan aku sholat
subuh, tidak pernah mengajakku ke masjid. Sementara kakek itu, setiap
pagi saya bisa berjalan dibelakangnya untuk shalat jamaah subuh.”
ALLAHU AKBAR! Menjadi kelu lidah sang ayah, hingga tak kuat menahan tangisnya.
Kata-kata
anak tersebut mampu merubah sikap dan pandangan sang ayah, hingga
membuat sang ayah sadar sebagai pendidik bagi anaknya, dan lebih dari
itu sebagai hamba dari Pencipta-nya yang semestinya taat menjalankan
perintah-Nya. Sang ayah rajin shalat berjamaah karena dakwah dari
anaknya.
(Sumber:
Mamlakah al-Qashash al Waaqi’iyyah disebutkan secara lebih singkat
dalam “Ladzaatul ‘ibaadah, Syaikh Isham binAbdul Muhsin al-Humaidan)
No comments:
Post a Comment