Saturday, April 10, 2021

INDUSTRY: MENGENAL SCW (STOP CALL WAIT)

Sudahkah kita familiar dengan metode SCW/SPT?

SCW yang berarti Stop-Call-Wait atau dalam terminologi bahasa Indonesia dikenal dengan SPT (Stop-Panggil-Tunggu) merupakan sebuah metode sederhana turunan dari penggunaan sistem Jidoka (otomatisasi) dalam TPS (Toyota Production System). Seperti apa sih kinerja dari metode sederhana ini?

Jadi dalam konsep penerapan Jidoka, hubungan antara manusia dan mesin sangat erat kaitannya. Sehebat apapun otomatisasi mustahil sebuah peralatan/mesin sanggup lepas dari peran manusia (man power). Dari sini maka dibutuhkan sebuah ketrampilan operator dalam mendeteksi sebuah ketidaknormalan (abnormal).

Metode SCW/SPT membantu kombinasi antara manusia dan peralatan/mesin bekerja sesuai standar yang ada. Tujuannya tentu sangat lah penting, yaitu agar jangan sampai terjadi kesalahan yang fatal baik produk atau prosesnya. Terlebih lagi jangan sampai terdapat potensi yang membahayakan manusia/operatornya. Mari ber-SCW/SPT! 

Dalam TPS (Toyota Production System) kita mengenal dua pilar pokok yaitu Just In Time dan Jidoka, dalam bahasa Indonesia Jidoka berarti otomatisasi. Dalam ruang lingkup proses manufaktur, proses otomatisasi akan memunculkan beberapa turunan metode/alat misalnya saja Pokayoke (Proofing Mistake), Andon (Sinyal Informasi), dan kemudian dari situ muncul sebuah metode yang sangat familiar yaitu SCW atau kita kenal dengan STOP-CALL-WAIT, atau dalam bahasa Indonesia yaitu SPT (STOP-PANGGIL-TUNGGU). Bagaimana kinerja dari metode SCW ini? Mari kita pelajari bersama.

Abnormal adalah kondisi di mana proses kerja atau produk tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, ketetapan ini misalnya dalam bentuk SOP, Work Instruction, SOM, dll. SCW (SPT) digunakan saat operator bekerja dan menemui kondisi abnormal baik pada proses kerja atau produk. Kenapa harus dilakukan SCW (SPT)? Tentu tujuannya untuk meminimalisir jumlah defect, mencegah kerusakan mesin, dan mencegah kecelakaan kerja. Metodenya cukup sederhana. Seperti apa?

Gambar: SCW in Poster
  1. Hentikan mesin atau proses kerja saat menemukan kondisi abnormal, baik berupa abnormal proses atau pun produk. Ini sangat penting segera dilakukan agar skala abnormal tidak meluas.
  2. Memanggil pimpinan atau atasan dalam regu/grup kerja di bagiannya untuk bersedia datang ke lokasi terjadinya abnormal. Dengan cara memanggil langsung atau menggunakan tombol andon, tergantung situasi yang ada.
  3. Menunggu dan tidak melakukan apapun sampai ada keputusan selanjutnya setelah pimpinan/atasan melakukan cek/perbaikan pada kondisi abnormal tersebut. Tunggu instruksi selanjutnya.

Thursday, March 11, 2021

BUDAYA: BAHASA JAKARTA JADI PENGUASA?

Akulturasi Bahasa Sangat Dipengaruhi Urbanisasi

Di awal tahun 90-an sebelum kriris moneter tahun 1999 datang, negeri ini sedang dalam pembangunan yang sangat masif, ekonomi menguat khususnya di sekitar wilayah Jabodetabek. Maka jangan heran jika sebut saja Bekasi misalnya yang di tahun segituan konon masih berupa rawa-rawa dan empang, kemudian bimsalabim dengan The Power of Kapital disulap oleh para investor menjadi kawasan industri terbesar di Indonesia. Tercatat Kawasan Industri MM2100 misalnya dibangun pertama di tahun 1990, kemudian Jababeka yang lebih dulu yaitu tahun 1989, dan juga kawasan industri lainnya seperti EJIP, Delta Silicon, dll.

Kondisi ini tentunya sangat baik bagi peluang serapan tenaga kerja di Indonesia. Kemudian dengan terbukanya lapangan kerja yang sangat luas menjadikan anak-anak muda dari daerah tertantang untuk berangkat menuju kota (terjadilah arus urbanisasi besar-besaran) dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang "dianggap" lebih layak dibanding sekedar berkebun atau angon wedhus di desa. Maka jangan heran jika saya dapat memastikan jika anda saat ini berusia 30-an dan sedang kerja di Jabodetabek, sudah barang tentu senior-senior anda yang saat ini menduduki posisi top level di perusahaan pastilah generasi yang lulus SMA/SMK-nya di tahun 90-an, yang saat ini usianya kira-kira mendekati 50-an.

Jika anda sedang kerja di Jabodetabek, coba perhatikan saja siapa senior atau atasan anda yang saat ini duduk di top manajemen di pekerjaan, mereka mayoritas pasti orang-orang yang datang dari segala penjuru Nusantara. Ada yang dari Toba, Sibolga, Pekanbaru, ada pula yang dari Jember, Surabaya, Sragen, Kebumen, Banyumas, Bandung, Padang, dan kota-kota daerah lain sebagainya di penjuru nusantara. Semua tumplek blek di Jabodetabek, ada tukar budaya yang sangat keren di situ. Ini adalah situasi yang tentunya sangat jamak kita temui hari ini.

Setelah mereka generasi urbanisasi 90-an ini mapan dan sukses dalam perantauannya di Jabodetabek, kemudian siklus yang paling umum adalah mereka beranak-pinak dan sayangnya tidak cukup yakin dengan pendidikan di kota. Kemudian tidak sedikit anak-anaknya yang disekolahkan, dikuliahkan di daerah asalnya. Ada yang anaknya kuliah di Jogja, Malang, Semarang, Bandung, dan lain sebagainya yang mayoritas adalah di Pulau Jawa. Yang terjadi kemudian adalah situasi yang bernama akulturasi budaya. Sesuai dengan prediksi para pakar bahasa yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia khas Jabodetabek (betawi) akan menjadi pemenangnya.

Katakanlah meski terlahir dari orang tua yang ke duanya (bapak-ibu) Jawa tulen, tapi karena sudah terlahir dan cukup lama besar di Jabodetabek maka identitas kejawaannya ini menjadi tidak ketara. Meski anak-anak masyarakat urban ini mengaku kalau dia adalah orang Jawa, orang Batak, orang Padang (sesuai etnis asal orang tuanya), kebanyakan mereka ini sudah tidak bisa lagi menuturkan bahasa daerah asal orang tuanya, dikon ngomong jowo yo ra iso. Karena bahasa ibu yang digunakan oleh para anak-anaknya generasi urban 90-an ini tentunya adalah bahasa Indonesia (dialek melayu/betawi) ala Jabodetabek.

Di Malang pun nuansa itu sangat terasa, saat saya nongkrong di cafe-cafe dan bertemu dengan banyak mahasiswa, yang saya dengar obrolan mereka dalam tutur kata pembicarannya sangat elo-gue banget khas Jakartans. Btw usut diusut jumlah mahasiswa di Malang yang berasal dari Jabodetabek mungkin saat ini adalah mayoritas ke dua setelah mahasiswa yang berasal dari Jatim sendiri. Tapi uniknya mayoritas mahasiswa yang berasal dari Jabodetabek ini berorangtuakan orang tua yang berasal dari daerah-daerah yang sudah saya jelaskan di atas. Akulturasi budaya yang sangat unik bukan?

Ditambah pengaruh media sosial yang circle utamanya adalah netizen Jabodetabek tentu semakin mengukuhkan budaya Jakartans adalah penguasa lini kehidupan generasi millenial saat ini. Pokok kalau bahasa tutur katanya belum elo-gue dan belum bercampur-baur dengan bahasa semi Inggris ala Jaksel belum bisa dikatakan anak gaul, begitu kira-kira. Situasi itu memaksa content creator alias kalau saya menyebutnya sebagai karyawan (orang penghasil karya) kemudian mencipta banyak propaganda yang bertemakan lestarikan budaya (bahasa) daerah. Nguri-uri budoyo jarene. Wkwk!

Sebagai contoh saja banyak musisi muda kemudian mengenalkan lagu-lagu berbahasa Jawa misalnya, dan juga lagu-lagu pop berbahasa daerah lainnya, ada Pop Minang, Pop Batak, Pop Sunda dan lain-lain. Kemudian menguploadnya di YouTube dengan harapan terakses oleh generasi millenial sehingga budaya (bahasa) daerah mereka sendiri tidak terkikis oleh pengaruh kuat Jabodetabek circle. Tapi penulis pikir itu akan menjadi sia-sia, yang terjadi adalah karya-karya bertema pelestarian budaya itu akan menjadi sekedar dinikmati saja. Tapi soal kuat-kuatan pengaruh budaya (bahasa), Jakartans tetap akan menjadi pemenangnya.

Wallahu'alam bishhowab.

Malang, 11 Maret 2021
Ditemani hujan sepanjang hari dengan suasana yang sejuk

Tuesday, March 2, 2021

MANUFAKTUR: MENGENAL SIKLUS DMAIC




Apa itu DMAIC?

DMAIC adalah pendekatan penyelesaian masalah berbasis data yang membantu membuat perbaikan-perbaikan bertahap dan optimalisasi pada produk, desain, dan proses bisnis. Pendekatan ini dibuat di tahun 1980-an sebagai bagian dari metodologi Six Sigma oleh seorang insinyur Motorola, Bill Smith. Pendekatan Six Sigma dirancang untuk mendorong perbaikan berkelanjutan dalam proses manufakturing menggunakan data dan statistik.

Apa saja langkah-langkah yang berbeda dalam metode DMAIC?

DMAIC memiliki 5 langkah yang saling terkoneksi: Define (Definisikan), Measure (Ukur), Analyze (Analisis), Improve (Tingkatkan), dan Control (Kendali). Setiap fase dirancang untuk memiliki efek kumulatif: untuk membangun informasi dan data yang dihasilkan dari tahapan sebelumnya dan akan diulangi dalam beberapa kali eksekusi.

Define: Fase Definisikan menetapkan apa masalahnya dan apa yang diperlukan untuk memperoleh solusi. Dalam bagian proses ini, Anda menetapkan dengan jelas masalah Anda, sasaran akhirnya, dan cakupan yang diperlukan untuk mencapainya. Fase ini membantu Anda memahami proses secara keseluruhan dan menentukan unsur-unsur apa saja yang sangat penting bagi kualitas (critical to quality), atau sering disebut sebagai "CTQ". Input dan output biasanya diuraikan dengan diagram SIPOC, yaitu singkatan dari supplier (pemasok), input (masukan), process (proses), output (keluaran), dan customer (pelanggan). Informasi ini biasanya ditarik dari dokumen piagam proyek (project charter), yang menetapkan bentuk proses DMAIC Anda.

Measure: Setelah Anda memahami masalah proses yang dihadapi, Anda harus menguraikan cara Anda akan memantau perubahan yang Anda buat pada proses itu. Tentu, dengan pendekatan berbasis data, memiliki data sangat penting bagi proses DMAIC. Oleh karena itu, tunuan dari fas Measure (Mengukur) ini adalah menetapkan performa proses Anda saat ini dan data apa yang akan Anda analisis. Dari situ, Anda dapat menggunakan rencana pengambilan data untuk memantau performa saat Anda membuat perubahan dan membandingkannya di akhir proyek.

Analyze: Sekarang Anda memiliki dasar patokan data yang dapat Anda gunakan untuk mulai mengambil keputusan tentang proses Anda. Seperti yang Anda harapkan, fase analisis adalah waktu yang tepat untuk melihat keseluruhan data itu. Di sini, Anda dan anggota tim akan membangun sebuah peta proses saat ini dengan memanfaatkan data Anda menemukan awal terjadinya masalah dalam proses. Meskipun beberapa proyek Six Sigma menggunakan alat bantu yang rumit untuk hal ini, diagram tulang ikan dan bagan Pareto sudah lebih dari cukup dan merupakan metode yang umum digunakan untuk menganalisis akar penyebab masalah. Setelah Anda mengetahui beberapa akar penyebab masalahnya, Anda dapat mulai melibatkan tim. Minta mereka untuk memilih arah fokus proses DMAIC Anda ke depannya.

Improve: Akhirnya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mulai melakukan peningkatan yang nyata pada proses Anda. Dalam fase Improve, bekerja samalah dengan tim untuk menemukan solusi kreatif yang dapat dilaksanakan dan diukur di dalam proses DMAIC. Di titik ini, mencurahkan gagasan dan mengadakan rapat yang efektif sangat penting bagi tim Anda. Setelah Anda memikirkan solusinya, Anda harus melakukan percobaan, menguji, serta menerapkannya. Plan-Do-Check-Act atau siklus “PDCA” adalah metode umum untuk melakukan hal ini, bersama dengan Analisis Mode dan Efek Kegagalan (Failure Mode and Effects Analysis), atau “FMEA,” untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Informasi ini harus disusun dalam sebuah rencana implementasi terperinci, yang selanjutnya dapat Anda gunakan untuk memandu penerapan solusi di dalam proses Anda.

Control: Langkah terakhir dalam metodologi DMAIC ini dapat membantu Anda memverifikasi dan mempertahankan kesuksesan solusi Anda untuk masa mendatang. Dalam fase Kontrol, tim Anda harus membuat rencana pemantauan dan kontrol agar terus menilai kembali dampak dari setiap perubahan proses yang diimplementasikan. Pada waktu yang sama, Anda harus membuat rencana tanggapan untuk ditindaklanjuti jika performa mulai turun kembali, dan sebuah masalah baru muncul. Kemampuan melihat ke belakang tentang bagaimana perbaikan ini dilaksanakan dan solusi yang dibuat, bisa jadi merupakan sebuah aset yang berharga. Di saat-saat seperti ini, memiliki dokumentasi yang baik dan kontrol versi pada proses perbaikan itu sangat penting.

Saturday, February 20, 2021

SEBUAH OPINI: 2021 JAKARTA BANJIR LAGI?

Sabtu 20 februari 2021 hari ini banyak media televisi nasional menghiasi dirinya dengan berita ibukota negara tercinta ini yaitu DKI Jakarta dan juga tentu wilayah sekitarnya sedang menderita banjir di banyak titik, entah yang ke berapa kalinya banjir Jakarta terjadi. Jika ditilik dari sejarahnya tentu kita semua sadar betul bahwa posisi Jakarta yang diapit oleh sungai besar yaitu Ciliwung di tengah, Cisadane di barat, dan Citarum di timur tentu menjadikannya sebagai lahan besar bergeografis rendah yang tidak menguntungkan.

Ilustrasi: DKI banjir 2021

Sejarah mencatat bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka Jakarta sudah diterpa banjir berkali-kali, tercatat tahun 1918 sebagai sejarah banjir terparah karena Batavia (Jakarta kala itu) benar-benar tenggelam mendekati seluruhnya. Hindia Belanda yang kala itu mengendalikan pemerintahan tentu sudah tak kurang akal mencari solusi untuk mengatasi problem tahunan ini. Kenapa harus dikatakan sebagai problem tahunan? Karena faktanya hampir setiap tahun di puncak musim penghujan selalu banjir, dan selama itu pula sejarah juga mencatat masalah ini tak kunjung terselesaikan.

Menyelesaikan banjir di Jakarta tidak hanya cukup dengan jargon omong kosong dalam rangkaian agenda kampanye seorang calon pimpinan daerah. Seribu kali ganti pimpindan daerah (baca: gubernur) dan kita ketahui bersama selalu saja mengumbar janji dalam kampanyenya akan berusaha mengatasi problem rutin banjir ini pun penulis pikir mustahil dianggap sebagai angin segar penyelesaian masalah. Alih-alih angin segar, yang ada justru masyarakat urban Jakarta masuk angin karena banjir ini. Sedap!

Yang teranyar gubernur DKI Jakarta penuh aksi brilian dengan kata-kata mutiaranya yang saat ini sedang menjabat yaitu Anies Baswedan bahkan baru-baru ini terpilih sebagai salah satu tokoh berpengaruh di dunia, meski banyak pihak bingung entah apa dasarnya. Tapi kenyataannya bukan otomatis dengan prestasi yang konon dianggap cemerlang itu lantas banjir tiba-tiba menghilang. Faktanya malah rilis klaimnya di media baru-baru ini yang menyatakan bahwa banjir Jakarta 2021 aman terkendali justru terlihat nampak omong sekosong-kosongnya omong.

Melalui tulisan ini penulis mengajak kepada pembaca untuk merenungi kembali setidaknya pada dua hal penting. Pertama masih relevan kah percaya pada ucapan pimpinan daerah Jakarta soal akan teratasinya problem rutin banjir tahunan ini dengan berbagai programnya? Penulis pikir tidak. Kedua yakinilah bahwa keadaan banjir Jakarta ini disebabkan oleh perilaku manusianya sendiri yang tidak sadar akan rusaknya alam, sehingga seyogyanya jangan berharap lagi pada pemerintah untuk mengatasi banjir. Tapi berjanjilah pada diri sendiri untuk ikut andil mencegah laju kerusakan lingkungan, khususnya warga Jabodetabek.

Semoga banjir Jakarta dan sekitarnya segera surut dan warga dapat beraktivitas normal kembali. Sebagai informasi tambahan bahwa kondisi saat ini menurut rilis resmi Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan bahwa permukaan laut di Jakarta (khususnya Jakarta Utara) sudah berada 1.5 meter di atas permukaan tanah. Yang logika orang pandir (baca; goblok) adalah mustahil jika terus bertahan dengan program penanggulangan banjir seperti yang ada saat ini. Mompa genangan, membersihkan drainase, keruk sedimentasi muara, tanam pohon, hal-hal normal seperti itu sudah lagi bukan solusi berharga. Butuh solusi nyata mega besar (extra ordinary). Benar bukan?

Robi Cahyadi
Malang, 20 Februari 2021
Dipenuhi rerintikan hujan berselimut pekatnya mendung

Friday, February 5, 2021

SEBUAH OPINI: JABODETABEK VS DAERAH

Setelah cukup lama hidup di Jabodetabek dan kemudian satu tahun lebih ini telah memutuskan menjalani kehidupan di daerah, ada beberapa perbedaan yang sangat mencolok bisa saya simpulkan. Tentunya perbedaan ini bersifat opini, karena bisa jadi menurut versi pandangan orang lain akan berbeda. Seperti apa situasinya?

Picture: Desa vs Kota, sumber; google

Jabodetabek itu padat penduduk, kekuatannya terletak pada prinsip dasar teori people power, bahwa semakin padat populasi suatu daerah maka semakin luas potensi sumber daya yang ada. Ekonomi sebagai jantung kehidupan berdetak cepat dan mengalirkan segala hal yang dipengaruhinya juga ikut bergerak cepat, budaya, pendidikan, sektor bisnis, perdagangan, dan seterusnya sangat dinamis.

Misal, mula-mula hadirnya teknologi baru, selalu berawal dari sumber daya di Jabodetabek. Yang pertama punya mobil listrik Tesla misalnya, bukan orang Gunungkidul atau Palopo, tapi orang Jakarta. Begitulah kiasannya. Jabodetabek sebagai pusatnya Indonesia tentu sangat disorot oleh media, menjadi sasaran pertama market ekonomi dan teknologi dunia, juga seringkali menjadi barometer standar kehidupan yang manusiawi dari generasi ke generasi.

Jadi sisi positifnya di Jabodetabek itu adalah keserbaadaan, apa pun tersedia, jenis pilihan pekerjaan melimpah ruah tinggal sejauh apa kompetensi manusianya. Pilihan mau ngapain sangat terbuka lebar, suka-suka lah intinya. Akses transportasi ke mana saja sangat mudah ditemui. Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia sangat cepat, semua orang bergerak cepat memastikan hari ini, esok, lusa dan seterusnya lambung tetap mencerna. Kompetitif!

Di daerah cenderung slow motion, bergerak lambat, orang-orang cukup santai menjalani kehidupan 
sewajarnya. Tidak semuanya serba ada, kadang-kadang harus ke tempat yang relatif cukup jauh saat menginginkan sesuatu. Kemudian tidak banyak ragam pilihan pekerjaan dan hal lainnya, karena perputaran ekonomi tidak secepat Jabodetabek. Tidak sembarang orang bisa dengan mudah bebas memilih ingin ngapain dan bekerja suka-suka.

Ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi untuk tetap bisa eksis dengan culture slow motion-nya khas daerah ini. Misalnya secara sederhana berasal dari latar belakang keluarga yang berkecukupan, berkapital cukup. Atau misalnya lagi jika pun tidak berkapital cukup, dengan pergerakan lambat seadanya tapi tidak menuntut hasil seprogresif seperti di Jabodebatek. Di situ letak kunci eksistensi orang yang hidup di daerah.

Di daerah menawarkan sisi positif yaitu situasi yang lebih santai dan kondusif dalam berbagai hal, terutama soal ritual ibadah. Karena tidak banyak orang yang bekerja di sektor formal di korporasi, maka ibadah yang dikemas dalam bentuk kultural ceremonial sangat sering terjadi. Sebentar-sebentar kenduren, tahlilan, pengajian, berkatan, kenyang. Soal apakah pencernaan bekerja atau tidak, pada prinsipnya tidak terlalu merisaukan.

Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa hidup di mana pun pada dasarnya akan sama saja, baik di megapolitan seperti Jabodetabek atau di daerah seperti pinggiran Kab. Malang tempat saya saat ini hidup. Selama bersedia aktif bergerak, terlepas lambat atau cepat pergerakan itu niscaya kehidupan tetap akan berjalan sewajarnya. Jika pasif tidak ada pergerakan, ya pastinya akan stagnan di posisi tersebut. Justru bisa-bisa dikatakan mundur karena obyek lainnya sedang bergerak ke depan. Ini persoalannya.

Malang, 3 Februari 2021
Robi Cahyadi
Dipenuhi cuaca hujan dan angin berintensitas tinggi