Friday, May 2, 2025

Pekerjaan Tetap atau Tetap Bekerja?

Ini tulisan singkat yang ditulis menurut opini pribadi dalam rangka memperingati mayday alias hari buruh 1 Mei 2025 dan diharapkan mampu memecah kebuntuan cara pandang dan kesempitan bernalar. Harapannya tentu pembaca akan tercerahkan dan memiliki harapan yang positif yang pada endingnya akan mampu hidup disertai juga dengan tingkah laku positif.

Dalam satu bahkan hampir mendekati dua dekade terakhir ini, kita paham betul iklim investasi yang konon tidak bagus di negeri ini membuat para kapitalis (pegusaha) dan pemerintah yang pro dengannya, dengan sekuat tenaga membuat regulasi bahwa model hubungan kerja terbaik adalah berbasis kontrak. Syukur-syukur alih daya. Begitu.

Kondisi ini tentu membuat banyak buruh bahkan di semua level mulai dari worker atau pelaksana hingga level managerial mengalami fase bekerja berbasis kontrak. Ada beberapa perusahaan yang secara internal cukup bagus financialnya sehingga kontrak mungkin dijadikan sebagai opsi masa penilaian awal, yang waktunya sebentar dan lalu dipermanenkan.

Tapi tidak sedikit perusahaan yang umumnya lebih senang mengklaim financialnya tidak bagus sehingga opsi hubungan kerja berbasis kontrak adalah sedapat mungkin selamanya. Sepanjang hayat si pekerja. Begitulah kira-kira teori dasarnya, maka beruntunglah generasi yang saat ini bisa berleha-leha tanpa banyak kontribusi yang dulunya dengan mudah langsung dipermanenkan. Benarkah yang demikian ini ada? Ya ndak tahu coba diamati.

Kembali lagi ke konsep judul tulisan ini. Banyak motivator yang memberikan nasihat positif berlagak romantis bahwa di zaman sekarang ini yang terpenting adalah tetap berpenghasilan, bukan berpenghasilan tetap. Katanya yang terpenting itu bukan menjadi pegawai tetap akan tetapi tetap berpenghasilan. Benarkah demikian yang realistis? Mari kita simak.

Konsep di atas ini tidak sepenuhnya salah, bahkan secara teoritis terlihat sangat benar. Tapi ada problem lain yang jarang diakui meskipun sebenarnya sangat mudah dirasakan. Konsep kapitalis memberlakukan regulasi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja berbasis kontrak ini menyisakan PR yang tak kunjung ada jeluntrungnya.

Dari sisi pengusaha memang benar, kontrak adalah bentuk perwujudan dari cara agar SDM selalu kompetifif sepanjang waktu. Tapi dari sisi pekerja, model kerja berbasis kontrak ini memunculkan isu modern hari ini bernama mental health issue. Kompetisi di tengah pekerja tidak jarang menjadikan nurani kemanusiaan menjadi pekat hitam gulita sehingga seringkali halal darah teman atau saudaranya sendiri. Terasa kan?

Mulai bisa dipahami kah arah opini ini? Ya benar, secara teori model kerja berbasis kontrak akan fully menguntungkan bagi kapitalis. Tapi fakta terpendamnya iklim kerja akibat dari regulasi itu memunculkan problem bernama high turn over dan toxic environment, yang sesungguhnya jika dipahami betul hal ini lah yang menjadi penghambat laju pertumbuhan dan perkembangan SDM. Muaranya rendahnya produktifitas.

Tapi sayang seribu sayang, realita yang tidak ketara ini seringkali diabaikan. Karena muara dari bisnis adalah cuan, uang. Maka regulasi terbaru yang dirancang di lima tahun terakhir ini justru semakin lebih parah dari sekedar itu. Sederhana saja, kalau bisa level managerial dikontrak by lembaga outsource, why not? Kira-kira begitu redaksional usulannya, dan ini akan terus diproduce oleh pihak yang berkepentingan. Yakin deh.

Lalu bagaimana menyikapi ini semua. Perbanyak piknik dan hiduplah sesantai mungkin, dalam segala aspek kehidupan. Bekerjalah untuk tetap hidup, sederhana saja. Jangan hidup untuk bekerja, nanti kalau menderita tipes atau TBC ya kalian akan diafkir dan digantikan tenaga baru. Lho berarti ini menggembosi loyalitas dong?

Ya terserah opinimu, wong opini dan sudut pandang itu sejatinya bersifat bebas merdeka. Kalau pun harus ada limitasi, ya limitasinya kan perasaan orang lain yang harus dijaga. Palingan begitu. Pesan terakhirnya, ayo jangan berhenti untuk tetap investasi leher ke atas. Kepalanya diisi dengan hal-hal baik agar laku kehidupan juga semakin mendewasa dan vibes auramu positif.

Salam dari Situbondo. Selamat hari buruh.

Robi Cahyadi (Aktif menulis dan menyuarakan opini di laman pribadi (ciyeilah) agar menghasilkan uang).

Saturday, April 26, 2025

OPINION: MALANG SHOULD BE SPLIT

In my mind and opinion, I still hope that one day Kab. Malang was expanded again into at least two new districts.

1. District South Malang (center city in Kepanjen)

2. District North Malang (center city in Singosari)

This is about accelerating of development resources, about the great potential for administrative and bureaucratic efficiency. District Malang is currently too big to be handled by one central government in Kepanjen.

3 sub-districts separated on the west side of Batu City, namely Pujon, Ngantang, and Kasembon should join the administrative area of ​​Batu City. To make it simple.

Meanwhile Dau, Karangploso, Singosari, Lawang, Jabung, Pakis, Wagir, Tumpang, Poncokusumo join North Malang Regency as new district.

The remaining dozens of sub-districts in the south of this area join South Malang Regency. Such as Ampelgading, Dampit, Turen, Tirtoyudo in the east side and Kalipare, Pagak, Donomulyo and Sumberpucung in the west side. Interesting, isn't it?

At most, the grassroots (lower class) only question, if there are two Malang districts, then which district does AREMA FC belong to? That's the most social problem. Well, it can still be mitigated from the start.

Eh, there is a suggestion from the Malang elder, my senior Mr. Yudi Widianto, that the east side also be made into its own district centered in Turen. Look okay?

Fun fact:

The largest sub-district in Malang Regency is Sumbermanjing Wetan (Sumawe) sub-district.

So does Sumawe have an opponent? Sumalon (Sumbermanjing Kulon) for example? Apparently there is, but it is not at the sub-district level. Sumalon is only at the village level in Pagak District.

Someone asked, the South Malang area is so far away from the manufacturing industry so that the poverty rate is quite high. If it is expanded, what will the southern region hope for?

Lho, lho, lho don’t worry. Where does this country's foreign exchange (TKI/TKW) come from if not South Malang? Not to mention the potential of the coastline, not to mention the sound horeg. Be optimistic about tourism, yo pora?

Saturday, March 8, 2025

EXPERIENCE: Belanja di Pasar Lawang

Seminggu sekali saya dan istri ke pasar Lawang untuk membeli pisang kesukaan Fiyo dan Val. Saya punya langganan, mbah tua yang berada di pojok ujung pertigaan selatan pasar sering menjadi tujuanku.

Pisangnya fresh dan tentunya murah meriah, satu cengkeh alias satu sisir hanya 15 ribu saja. Terkhusus buat ndulang gendukku bisa bertahan semingguan. Hemat dan tentu menyehatkan bukan?

Selain pisang, mbah tua ini juga jualan buah lainnya seperti nanas, pepaya, dan sejenisnya. Saya salut dengan usianya yang tidak muda, mbah ini konsisten berjualan sepanjang waktu di pagi hari di saat ramainya pasar.

Saya membayangkan, di era yang anak-anak muda saat ini ndak gelem buka lapak dan bakulan di pasar. Kira-kira siapa ya generasi 10 tahun mendatang yang akan jualan di pasar? Pasar isinya pedagang sepuh-sepuh semua saat ini.

Padahal sudah banyak cerita manusia-manusia sukses di seantero negeri ini, kesuksesannya berkat hasil jerih payah orang tuanya yang bakulan di pasar. Pasar tradisional adalah urat nadi rakyat jelata, seyogyanya mendapatkan tempat perhatian extra.

Lawang, 9 Februari 2025

Wednesday, January 15, 2025

EXPERIENCE: KALI UMPRIK DI DESAKU

Dahulu musim hujan dan musim banjir kali umprik seperti ini, di sepanjang Karangdoro dusun tempat kelahiran saya, ada beberapa orang yang mendadak punya profesi baru yaitu bikin anjungan di pingir kali dan melek semalaman untuk ngayap ikan. Mencari penghasilan tambahan dari menangkap ikan sungai.

Ada almarhum mbah Kadis

Ada almarhum mbah Atim

Ada makde Tamar

Ada mbah Kandut

Ada yang muda seperti pak Suroso dan Kambali

Dan masih banyak yang lainnya

Mereka semua mendapatkan ikan ontentik dari kali sepanjang dusun Karangdoro itu yang konon diduga kuat ikan-ikan ini adalah hasil migrasi dari kali Brantas yang sedang meluap, banyak sekali jenis ikan yang didapatkan seperti; bethem, wader, tawes, garingan, kutuk, dll.

Almarhumah ibu saya suka beli ikan-ikan tersebut, kemudian memasaknya menjadi lauk yang nikmat dan bergizi bagi anak-anaknya, ikan yang kebetulan ada telurnya, telurnya sangat enak saat digoreng garing, ini kesukaan saya. Inilah barangkali salah satu sebab kenapa saya bermental sebaik ini, ciye.

Sayangnya itu semua hanya kenangan manis di zaman saya kecil, saat ini kita semua tidak bisa memberikan kenangan serupa kepada anak-anak kita. Alam saat ini sudah berbeda. Betul?

Karena kalinya angok atau asat ndak ada iwaknya, sumber daya iwak kali tak lagi populer seperti zaman 15-25 tahun yang lalu. Bahkan saat kita ingin mangan iwak kali, mungkin saat ini hanya bisa ditemukan di warung-warung wader dan uceng yang bercecer di beberapa jalan utama Kediri-Tulungagung-Blitar.

Ini bentuk nyata dari degradasi sumber daya alam, alam tidak lagi ramah dan memberikan dampak positif pada manusia. Kali menyempit akibat sedimentasi sampah, dan hal-hal buruk lainnya. Siapa aktor utama dari buruknya alam ini? Ya manusia, siapa lagi. Masa mau nyalahin dhemit.

Salam dari Malang untuk dulur-dulurku semua semoga senantiasa sehat selalu. Aamiin ☕️