Sunday, August 18, 2024

INDUSTRY: MENTAL SILO PENGHAMBAT BISNIS

Adakah rekan kerjamu yang cenderung enggan berbagi informasi seputar pekerjaan atau urusan kantor? Atau, apakah malah kamu yang cenderung bersikap seperti itu? Hati-hati, ini adalah pertanda dari silo mentality.


Mental seperti ini biasanya muncul dari rasa kompetitif di antara rekan kerja. Sayangnya, memiliki mental seperti ini dapat memberi dampak buruk bagi pekerjaan. Bahkan lebih luas lagi bagi bisnis perusahaan secara umum.


Lebih buruknya lagi, mental ini juga dapat memberi efek negatif pada budaya kerja di perusahaan, lho. Percaya atau tidak budaya mental silo ini sangat destruktif bagi pelakunya dan banyak pihak di lingkungannya.


Apa saja ciri-cirinya dan bagaimana cara menghindarinya? Yuk, cari tahu selengkapnya dalam artikel berikut!


Definisi Silo Mentality


Menurut Investopedia, silo mentality adalah keengganan untuk berbagi informasi dengan karyawan dari divisi yang berbeda di dalam perusahaan yang sama.


Kata silo awalnya mengacu pada wadah penyimpanan hasil pertanian. Namun, istilah ini sekarang digunakan sebagai metafora untuk entitas terpisah yang menyimpan informasi tertentu.


Dalam bisnis, silo mengacu pada divisi yang beroperasi secara independen dan menghindari berbagi informasi.


Ini juga mengacu pada bisnis yang departemennya memiliki aplikasi sistem silo, di mana informasi tidak dapat dibagikan karena keterbatasan sistem.


Umumnya, mental silo ini terjadi akibat kompetisi antar manajer yang kemudian menyeret anggota timnya. Akibatnya, lingkungan dan budaya kerja dapat berubah menjadi toxic.


Mental seperti ini juga memberi dampak negatif pada politik kantor.


Dampak silo mentality


Dikutip dari Indeed, jika tidak segera diatasi, berikut adalah beberapa dampak dari silo mentality di tempat kerja.


1. Mengurangi produktivitas

Salah satu dampak dari tumbuhnya mental silo dalam budaya kerja adalah adanya perbedaan kepentingan individu dan perusahaan.


Adanya perbedaan cara pikir dan kepentingan inilah yang mengakibatkan berkuranganya produktivitas kerja.


Jika setiap divisi hanya berfokus kepada kepentingannya masing-masing, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.


2. Menurunnya moral

Pekerja dengan mental silo akan merasa frustasi karena kurangnya komunikasi dan terjadinya persaingan tidak sehat antar divisi serta manajemen.


Penurunan moral ini juga berdampak pada berkurangnya kinerja serta meningkatnya kemungkinan resign.


3. Berkurangnya kepuasan pelanggan

Cara berpikir silo atau silo thinking bukan hanya berdampak pada internal perusahaan melainkan juga eksternal atau pihak klien/pelanggan.


Kurangnya kolaborasi antar tim produk dan layanan yang tidak maksimal, sehingga konsumen jadi tidak puas.

Sunday, August 4, 2024

RELIGI: FENOMENA JILBAB DI KALANGAN PELAJAR

Oleh: Robi Cahyadi

Tulisan singkat ini penulis dedikasikan untuk diri sendiri yang sedang resah dan berkecamuk dalam pikiran tentang fenomena masifnya pengenaan jilbab di kalangan pelajar. Tidak ada tendensi apapun dalam tulisan ini selain otokritik atas pemahaman penulis terkait jilbab di kalangan pelajar dewasa ini.

Dalam konsistensi pemahaman penulis, jilbab adalah uniform yang seharusnya tidak wajib dikenakan oleh pelajar level sekolah dasar, menengah pertama hingga menengah atas. Penulis tidak mengharapkan sanggahan atas pemahaman ini karena hemat penulis ini adalah fundamental dalam kaidah kemerdekaan berpikir.

Penulis mencoba flashback sekitar lima belas tahun lalu di era sekolah menengah penulis. Di waktu itu penulis mengalami dengan sendiri bahwa secara faktual penggunaan jilbab di kalangan pelajar adalah minoritas. Mayoritasnya pelajar di era itu tidak mengenalan jilbab. Barangkali hanya pelajar Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah yang mengenakannya karena tuntutan regulasinya.

Akan tetapi untuk pelajar sekolah negeri atau pun swasta yang sekolahnya tidak terafiliasi pada Depag (Departemen Agama) dan Islam tidak diatur tentang pengenaan jilbab. Pelajar waktu itu bebas memilih uniform yang ia kenakan tentunya tetap dengan requirements yang sekolah tetapkan.

Dewasa ini, saat penulis amati dengan seksama ternyata budaya lima belas tahun yang lalu itu sudah bergeser. Culture saat ini adalah manjadikan jilbab sebagai uniform normal di semua jenjang sekolah. Bahkan jika boleh claim, saat ini justru sebaliknya yaitu yang berjilbab menjadi mayoritas dan yang non jilbab menjadi minoritas.

Apakah ini pertanda baik? Dari mana justifikasi bahwa ini adalah pertanda baik? Dua pertanyaan dasar ini akan sangat sulit dijawab seketika karena memerlukan perdebatan argumen dan perselisihan pemahaman yang tentunya tidak mudah diadili siapa yang berada dalam posisi benar.

Pada faktanya, hari ini sudah berbeda dengan lima belas atau bahkan dua puluh tahun lalu. Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa perubahan culture dalam masyarakat itu nyata adanya dan kita dituntut untuk agile atas kondisi itu. Penulis lebih memilih kata agile dibanding adaptif, karena adaptif lebih permisif dibanding agile.

Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang membuat fenomena perubahan culture ini terjadi di tengah masyarakat? Tentu tidak lain tidak bukan adalah pemahaman atau firkah (pemikiran) akan suatu value dalam kehidupan beragama. Barangkali masyarakat atau umat saat ini semakin sadar bahwa jilbab adalah kewajiban? Ini pun menurut penulis sangat debatable.

Kembali ke soal sejarah perubahan budaya dalam uniform pelajar. Kita coba runut ke belakang lebih jauh. Kita mahfum di era pra-kemerdekaan yaitu eranya Kartini, bagaimana uniform pelajar pribumi waktu itu? Pakai kebaya yang dibarengi masih memperlihatkan kemolekan tubuh waktu itu barangkali sudah sangat sopan dan penuh value. Betul?

Kemudian setelah era post-kemerdekaan yaitu era orde lama dan order baru, jika kita amati foto-foto orang tua khususnya ibu kita (barangkali) saat jadi pelajar. Mereka mayoritas mengenakan uniform rok pendek dan tanpa jilbab. Sekali lagi, sampai berakhirnya orde baru style-nya masih demikian dan ini menjadi uniform mayoritas.

Pergeseran mulai merangkak terjadi di era reformasi, setelah tumbangnya rezim orde baru. Berbagai arus informasi yang keluar masuk di negeri ini menjadikan masyarakat kita kaya akan firkah (pemikiran atau pandangan). Salah satunya yang giat menginfiltrasi umat adalah pandangan agamawan bahwa jilbab adalah suatu kewajiban.

Di titik inilah mula dari perubuhan culture yang penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini. Kekuatan giringan pandangan ini lah yang menjadikan pelajar hari ini baik di sekolah negeri atau swasta yang tidak terafiliasi pada islam sekalipun ikut terbawa arus deras yang penulis sebut sebagai “fenomena perubahan”. Ya, hari ini jilbab dipakai hampir di segala jenjang sekolah.

Bahkan tidak sedikit juga pelajar yang sebenarnya non-muslim dan tidak ingin mengenakan jilbab atau pelajar islam sekalipun yang ekspektasinya adalah merdeka dalam pemilihan uniform, menjadi terpaksa mengikuti gerakan perubahan culture yang dikomandoi oleh mayoritas. Yaitu berjilbab di sekolah dan akan tetapi menanggalkannya saat di kehidupan luar sekolah.

Sekali lagi, seperti yang penulis jelaskan di awal bahwa ini adalah otokritik atas pemikiran penulisan pribadi. Bahwa ternyata the power of majority movement itu benar nyata adanya. Yang minoritas seringnya akan kalah terseret arus oleh yang mayoritas. Terlepas itu hanya trend dan masifnya pengenaan jilbab oleh pelajar di semua jenjang sekolah tidak selalu linier dengan kebaikan akhlaknya.

Apakah pernah diukur secara kuantitatif dan kualitatif untuk obyektif menyimpulkan bahwa kalimat terakhir tepat di paragraf atas barusan terbukti? Boleh untuk direnungkan. Yang pasti, penulis tidak cukup mampu berlogika dan bernalar jika ada sekolah negeri milik pemerintah yang tidak terafiliasi pada ajaran agama tertentu, yang seharusnya netral dari pewajiban berjilbab lantas membuat regulasi mewajibkan. Semoga tidak ada yang demikian.

Waallahualam bhissowab.

Malang, 25 Juni 2024