Pernikahan itu melahirkan diskusi tiada henti antara suami dan istri. Salah satu diskusi yang tidak bisa dilewatkan adalah ngobrolin soal pendidikan anak. Meski anakku masih kecil, tidak jarang aku dan ibunya Val sudah ngomong basa-basi soal nanti Val sekolah di mana hingga saat besar harus kuliah apa dan di mana. Mungkin terlalu dini ya ngomonginnya, tapi ini realita yang tidak bisa dicegah.
Membersamai tumbuh kembang anak merupakan idaman setiap orang tua tidak terkecuali seorang ayah termasuk diriku. Jika masa kecilku dulu tidak terlalu banyak dibersamai oleh ayah karena beliau saking sibuknya bekerja, maka aku saat ini sebagai ayah tidak ingin mengulang masa lalu itu terjadi pada anakku.
Seorang ayah, pada umumnya gak patek ngreken perihal pendidikan anak, pendidikan anak lebih dibebankan pada sisi ibu. Kalau dipikir mendalam, mungkin itu sudah tidak relevan lagi di era yang seharusnya generasi seusia kami punya cara pandang berbeda dengan orang tua terdahulu. Sebagai ayah tidak perlu malu dan canggung untuk sekedar join dengan ibu-ibu lain nungguin anaknya sekolah.
Waktu akan terbang begitu singkat, itu adalah kepastian yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Prinsip itu yang menjadikanku sadar betul bahwa membersamai tumbuh kembang dan pendidikan anak adalah bagian dari rencana hidup dan daily basis yang tidak bisa diwakilkan. Bagiku ayah memiliki peran yang sama dengan ibu dalam memplaning dan mengontrol pendidikan anak.
Terlepas ada dogma yang menyatakan bahwa madrasah diniyah seorang anak adalah ibunya sendiri, tentu tidak akan salah jika ayah juga turut andil lebih jauh dan ‘kepo’ soal hari-hari belajar anaknya. Kuncinya adalah tetap kompromi dengan ibunya yang besar kemungkinan lebih tahu apa bakat terpendam anaknya. Semoga gendukku mendapatkan jaminan pendidikan tertinggi melebihi ayah ibunya, aamiin.