ADA APA DENGAN LANGGAR
Mendengar kata langgar tentu sebagai orang Jawa akan langsung paham bahwa yang dimaksud langgar adalah mushola. Di sebagian besar wilayah Jawa memang mushola biasa disebut dengan langgar, utamanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk mayoritas Jawa Barat lebih akrab menyebutnya dengan surau atau mushola itu sendiri.
Langgar bagi saya pribadi memiliki sebuah kenangan manis yang sulit terlupakan. Dulu sekitar awal 2000-an sedari masih SD hingga menjelang SMA sebagai anak kampung tentu menjadikan langgar sebagai homebase di saat bulan ramadhan seperti ini. Kebetulan tidak jauh dari rumah saya ada sebuah langgar kecil yang berdiri di atas tanah mbah buyut dari ayah saya.
Saya tidak tahu persis kapan langgar di dekat rumah mbah buyut saya ini dibangun, tidak ada riwayat yang menjelaskan kapan tepatnya langgar sederhana itu dibangun. Yang pasti saat saya lahir langgar ini sudah ada dan berdiri sebagai sarana ibadah warga sekitar dusun kami, kurang lebih mewadahi sekitar dua rukun tetangga yang berisikan sekitar 50 kepala keluarga saja.
Dulu jaman presiden Gus Dur, tentu kita semua generasi 90-an sangat ingat betapa nikmatnya bulan ramadhan. Sekolah diliburkan sebulan penuh demi fokusnya anak remaja belajar islam melaui pondok romadlon kala itu. Aktifitas belajar umum di sekolah yang libur membuat sehari-hari diisi dengan kegiatan yang bernarasi rohani islam.
Ada buku kecil kegiatan pondok romadhlon dari sekolahan. Yang berisikan beberapa hal semisal timeline tadarusan, tarawihan, tausiyah, dan sebagainya. Hal itu tentu membuat masa kecil saat itu terasa sangat indah sekali, menyenangkan. Pagi selepas sahur biasanya kami bermain bola di jalanan depan rumah kemudian tidur dan bangun lagi untuk tadarusan di langgar.
Selain tadarusan, saat bulan puasa di pagi hari tidak jarang saya juga ikut andil menyemarakkan suasana ramadhan dengan membuat merconan. Menggulung kertas diktat bekas untuk dijadikan pilinan slongsong merconan. Sangat seru sekali tentunya karena selain mengandung unsur bahaya juga mengandung potensi dimarahain ayah ibu.
Sore hari sesekali waktu saya habiskan untuk melihat TV acara resep masakan di Indosiar, kemudian tidak jarang membantu ibu memasak di dapur untuk persiapan buka puasa. Selepas tarawih sudah barang tentu saya dan teman-teman kecil waktu itu nderes/ngaji alquran di langgar hingga menjelang tengah malam. Ada keseruan di sana karena kadangkala banyak takjil yang disediakan.
Menjelang tengah malam, selama hampir pasti sebulan penuh di bulan ramadhan itu saya pasti tidak tidur di rumah. Langgar sudah menjadi tempat yang paling pas untuk tidur dan bercanda tawa dengan teman-teman. Di jam menjelang sahur biasanya jam 2 dini hari kami sudah bersiap dengan alat ronda dan membangunkan sahur orang-orang.
Ada jerigen besar sebagai alternatif bedug portabel, ada kentongan, ada angklung, bahkan ada ecrek2 yang dibuat dari bekas tutup botol yang dipaku ke kayu balok. Suara orkestra kami saat itu tentu sangat khas, mungkin sangat indah untuk ukuran anak-anak kecil waktu itu. Meskipun ketika dewasa saat ini merasa suara tersebut tidaklah indah-indah amat alias justru mbrebegi.
Kami biasa berjalan cukup lumayan jauh ke dusun sebelah, bahkan pernah suatu ketika hingga menyebrang ke lintas desa yang lain. Saat ketemu remaja masjid atau langgar lain yang juga melakukan hal yang sama, menjadi semakin lebih bersemarak. Kami di Kediri bagian selatan menyebutnya dengan istilah “ronda”. Sangat memorable sekali nuansa ramadhan waktu itu.
Saat ini sesudah dewasa dan menginjak bahtera berkeluarga, tidak lagi merasakan nuansa keseruan itu ada. Langgar yang dulu menjadi homebase kini hanya menjadi sebuah sarana ibadah semata, sholat tarawih dan selesai. Terakhir kali saya melihat, saat ini anak-anak kecil atau remaja sepertinya sudah tidak lagi menjadikan langgar sebagai homebase saat ramadhan.
Saya melihat beberapa tahun lalu, “ronda” sudah beralih menjadi ajang kampanye jor-joran suara soundsystem dengan diangkut mobil bak atau pickup. Berputar mengelilingi lintas desa bahkan antar kecamatan. Setelah lebih dari 10 tahun “keluar” dari desa tercinta, perubahan zaman itu terlihat sangat nyata. Langgar hanyalah langgar, tidak ada ramai gelak tawa dan didik anak-anak remaja di sana. Benarkah demikian adanya? Entah.
Malang, 9 April 2022
Ramadhan malam ke 7
Foto: Papan di langgar masa kecil saya, saat ini