Wednesday, January 15, 2025

EXPERIENCE: KALI UMPRIK DI DESAKU

Dahulu musim hujan dan musim banjir kali umprik seperti ini, di sepanjang Karangdoro dusun tempat kelahiran saya, ada beberapa orang yang mendadak punya profesi baru yaitu bikin anjungan di pingir kali dan melek semalaman untuk ngayap ikan. Mencari penghasilan tambahan dari menangkap ikan sungai.

Ada almarhum mbah Kadis

Ada almarhum mbah Atim

Ada makde Tamar

Ada mbah Kandut

Ada yang muda seperti pak Suroso dan Kambali

Dan masih banyak yang lainnya

Mereka semua mendapatkan ikan ontentik dari kali sepanjang dusun Karangdoro itu yang konon diduga kuat ikan-ikan ini adalah hasil migrasi dari kali Brantas yang sedang meluap, banyak sekali jenis ikan yang didapatkan seperti; bethem, wader, tawes, garingan, kutuk, dll.

Almarhumah ibu saya suka beli ikan-ikan tersebut, kemudian memasaknya menjadi lauk yang nikmat dan bergizi bagi anak-anaknya, ikan yang kebetulan ada telurnya, telurnya sangat enak saat digoreng garing, ini kesukaan saya. Inilah barangkali salah satu sebab kenapa saya bermental sebaik ini, ciye.

Sayangnya itu semua hanya kenangan manis di zaman saya kecil, saat ini kita semua tidak bisa memberikan kenangan serupa kepada anak-anak kita. Alam saat ini sudah berbeda. Betul?

Karena kalinya angok atau asat ndak ada iwaknya, sumber daya iwak kali tak lagi populer seperti zaman 15-25 tahun yang lalu. Bahkan saat kita ingin mangan iwak kali, mungkin saat ini hanya bisa ditemukan di warung-warung wader dan uceng yang bercecer di beberapa jalan utama Kediri-Tulungagung-Blitar.

Ini bentuk nyata dari degradasi sumber daya alam, alam tidak lagi ramah dan memberikan dampak positif pada manusia. Kali menyempit akibat sedimentasi sampah, dan hal-hal buruk lainnya. Siapa aktor utama dari buruknya alam ini? Ya manusia, siapa lagi. Masa mau nyalahin dhemit.

Salam dari Malang untuk dulur-dulurku semua semoga senantiasa sehat selalu. Aamiin ☕️

Sunday, December 15, 2024

Opini: Pentingnya Self Reward

Sudah sejak 2011 saya menjadi bagian dari Fan FC Bayern München Indonesia. Setiap tahun saya tidak pernah melewatkan untuk memperbarui status membership saya. Saya mencintai Bayern dengan mendedikasikan sedikit uang dalam setahun untuk perkembangan komunitas fan di Indonesia.

Mungkin bagi sebagian orang yang tidak memahami pentingnya berkontribusi nyata dan resmi pada klub kesayangannya, menjadi member rutin tahunan seperti saya ini adalah hal sia-sia. Tapi tidak bagi saya, ini adalah hal bermanfaat yang terbukti memiliki dampak positif bagi kehidupan pribadi saya.

Anda mengenal self reward? Penghargaan pada diri sendiri, itulah target saya saat memutuskan untuk senantiasa menjadi member resmi FCBFI di setiap tahunnya. Saya mencoba menyayangi diri sendiri sebelum mengandalkan orang lain yang menyayangi saya. Begitu kira-kira dasar berpikirnya.

Lalu apa manfaat terbesar dari menjadi bagian resmi Fan FC Bayern Munchen Indonesia? Pertama tentu soal circle, saya menjadi memiliki circle yang satu visi dan misi yaitu mendukung Bayern berprestasi tiap tahunnya. Kedua, saya punya banyak teman di luar anda semua pembaca status ini. Teman-teman yang mayoritas cerdas dari kalangan menengah ke atas Jabodetabek, begitu pada umumnya.

Sampai kapan saya berhenti menjadi member fan Bayern Munchen? Sampai akhir hayat saya rencananya. Apakah ini berlebihan? Tentu saja tidak. Karena sesuai dengan prinsip kami yang teguh di dalam hati sepanjang waktu, bahwa kami adalah kami. Mia San Mia, berarti Gue ya Gue. Suka-suka gue. Sesederhana itu.

Malang, December 15th, 2024
Fan Bayern Munchen Indonesia

Tuesday, November 12, 2024

INDUSTRY: HACCP FOOD MANUFACTURING

HACCP adalah sebuah metode sistematis berbasis sains yang mengidentifikasi risiko bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya untuk memastikan keamanan dari produk pangan yang diproduksi. Berfokus pada pencegahan, HACCP dapat membantu perubahan termasuk merancang peralatan dan prosedur pengolahan.

Bahaya yang pada dasarnya ingin dikendalikan oleh sistem HACCP meliputi bahaya biologi atau mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik, serta kadang-kadang ditambahkan bahaya histamin. Hal ini biasanya disebut “peluang bahaya” akan terjadi. Tim HACCP perlu mempertimbangkan segala kemungkinan (peluang) untuk setiap bahaya yang telah diidentifikasi.

Tujuan penerapan sistem HACCP adalah mencegah atau meminimalisir terjadinya kerusakkan produksi atau ketidakamanan pangan, yang tidak mudah bila hanya dilakukan pada sistem pengujian akhir produk saja. Dengan berkembangnya HACCP menjadi standar internasional dan persyaratan wajib pemerintah, memberikan produk memiliki nilai kompetitif di pasar global. Kira-kira begitu.

Bahaya fisik yang pada umumnya ingin dikendalikan dalam sistem HACCP adalah bahaya kontaminasi benda asing (foreign objects) khususnya metal. Salah satu alat terakhir yang diinstall dan diyakini mampu untuk mendukung proses produksi yang dapat mencegah kontaminasi metal adalah metal detector. Tapi sayangnya para user seringkali tidak memahami bahwa ada satu kaidah bahwa tidak semua metal dapat dideteksi.

Dalam ilustrasi di bawah dijelaskan bahwa ada tingkat kesulitan tertentu dalam mendeteksi object metal dengan metal detector. Secara teoritis non-magnetic metals seperti stainless steel (SUS) justru yang paling sulit dideteksi oleh metal detector. Padahal justru material SUS ini yang diyakini pula paling aman dari potensi karatan (rust) sehingga dipilih sebagai material nomor wahid yang umum digunakan untuk berbagai peralatan pendukung produksi pangan. Ironically. Menarik bukan?

Monday, October 7, 2024

RELIGI: MASJID JAWA TIMUR LAWAS

Tidak ada kubah dan memang sebenarnya ndak masalah walau tidak ada, saking masyarakat kita ini mudah minder sehingga di kemudian hari dan kini masjid selalu dipasang kubah dengan reason agar seperti masjid-masjid di timur tengah dan beberapa menganggap itu bagian dari bentuk mengikuti sunnah. Entah.

Dalam foto ini, tampak masjid tua yang berada di wilayah desa Temenggungan, kecamatan Udanawu, kabupaten Blitar. Sebuah wilayah yang nyaris sejengkal dengan desa Pelas, kecamatan Kras, kabupaten Kediri. Masjid ini bernama Baiturrokhman yang berarti rumah sang pengasih. Kira-kira masjid ini berdiri sekitar tahun 50-an.

Bentukan masjid tempo dulu selalu berciri khas demikian, bentuk atapnya adalah berupa limas bertingkat atau bersusun yang menampakkan kesan tinggi dan gagah. Tidak diperlukan kubah dalam konsep pembangunan masjid di Jawa tempo dulu. Atap limasan atau tajug ini sudah menjadi ciri khas yang sebenarnya menawan lagi istimewa jika diperhatikan.

Pun begitu dengan serambinya, bagian luar yang integral dengan bangunan tengah utama masjid. Bentukannya pun berupa selasar memanjang dengan atap limasan yang kadangkala bersusun dan berkonsep joglo (tajug loro). Menambah keindahan masjid secara utuh. Ini adalah wujud mahakarya arsitekur nusantara.

Pada dasarnya, konsep umum masjid Jawa tempo dulu adalah menjadikan ruang utama masjid terbagi dua, sebelah kiri untuk jamaah laki dan kanan untuk jamaah perempuan. Adapun serambi masjid Jawa tempo dulu pada umumnya dipergunakan untuk berbagai aktifitas seperti halnya mengaji, rapat takmir dan atau acara-acara keagamaan lainnya.

Kemudian dengan kamar mandi sekaligus tempat wudhlu di sebelah kiri untuk jamaah laki, pun begitu dengan sebelah kanan yaitu kamar mandi dan tempat wudhlu untuk jamaah perempuan. Kentongan besar dan bedug yang khas dari kulit sapi pada umumnya diinstal di pojok serambi masjid, bisa di kiri atau di kanan. Sangat indah.

Halaman masjid di kampung-kampung pedesaan Jawa yang mayoritas cukup luas tentunya dapat dijadikan berbagai fungsi positif bagi jamaahnya. Mulai dari fungsi lahan parkir, lahan pengajian umum tahunan, lahan untuk agenda rutin tahunan seperti saat merayakan malam takbiran atau sebagai lokasi penyembelihan hewan qurban saat Idul Adha datang. Begitu kira-kira gambaran umumnya.

Namun dewasa ini, akibat pengaruh pemahaman beragama yang semakin luas dan global. Pembangunan masjid baru-baru ini sudah tidak lagi menggunakan konsep limasan berserambi seperti nampak pada foto ini. Kini masyarakat umumnya lebih menyukai desain ketimur-tengahan, desain kotak dengan atap berkubah besar adalah impian masyarakat hampir di banyak wilayah.

Begitu kira-kira sekelumit wajah baru perubahan sosial budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Diakui atau tidak, perlahan pola sosial dan budaya masyarakat selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tentunya penulis berharap masjid klasik nan indah seperti masjid Baiturrokhman di foto ini, masih terus eksis di tengah gempuran arsitektur timur tengah yang katanya lebih modern itu.

Pelas, Kras, Kediri, September 2024

Sunday, September 8, 2024

FAMILY: AKU ADALAH CUCU PROLETARIAN

Kakekku dari garis ibu bernama Mustad, beliau adalah anak dari Mbah Sonorejo yang asal usulnya dari daerah Kedungwaru, Tulungagung. Aku tidak pernah tahu secara detail tentang Mbah Sonorejo, yang aku tahu dari cerita ibu, beliau adalah kakek ibuku yang artinya beliau adalah mbah buyutku.

Meski begitu, yang cukup banyak ku ketahui adalah tentang kakekku dari jalur ibu, beliau bernama Mbah Mustad. Aku masih cukup ingat betul tentang masa tua beliau mengingat beliau dipanggil menghadap Tuhan YME saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar di mana di usia itu ingatan dan kesadaranku sudah cukup baik karena mendekati aqil baligh.

Mbah Mustad adalah piyantun alit sosok yang sangat bersahaja dan pekerja keras, sebagai seorang generasi yang lahir sebelum negeri ini merdeka tentu Mbah Mustad telah banyak mengalami liku kehidupan yang sangat getir juga pahit. Beliau menikahi nenekku Mbah Yupiatun dan setidaknya saat ini tercatat sudah memiliki puluhan cucu termasuk aku, sarjana teknik mesin yang kini menjadi kelas pekerja.

Menurut keterangan ibuku, Mbah Mustad sedari muda sangatlah tampan untuk ukuran orang zaman itu. Perawakannya tinggi dan hidungnya sangat mancung. Mbah Mustad bekerja sangat keras layaknya orang Jawa pada umumnya, beliau bekerja menggarap ladangnya sendiri dan tentunya juga menjadi buruh bagi majikan atau para tuan tanah di desa masa kecilku. Menggarap sawah sendiri sekaligus menjadi buruh ini lumrah dilakukan oleh orang yang sawahnya memang sepetak saja, kira-kira begitu kiasannya.

Pada suatu sore saat aku hendak berangkat mengaji di TPQ yang ada di desaku, tepatnya di rumahnya H. Jamil Mustofa. Aku tidak sengaja bertemu dengan Mbah Mustad, mbahku yang sedang ku narasikan dalam tulisan pendek ini. Saat melalui sebuah jalan kecil yang biasa kami sebut dengan “dalan etan” di desaku, menuju TPQ tepatnya di kebun nanas samping selatan rumahnya Pak H. Wahid juragan kecap, Mbah Mustad bekerja di sore hari yang rindang di sana.

Apa yang dikerjakan oleh beliau? Beliau bekerja mendongkel oyot barongan (akar pohon bambu). Ini tentu adalah pekerjaan super berat, heavy duty work. Mustahil hari ini anak muda yang gagah berotot sekalipun berani mengambil job membongkar oyot barongan. Ada banyak resiko dalam pekerjaan ini, resiko terburuk adalah tidak pernah tahu apakah ada ular berbisa yang sewaktu-waktu menyerang atau barangkali jin penghuni barongan marah dan menyurupinya.

Di usianya yang tidak lagi muda, Mbah Mustad melakukan pekerjaan ini dengan riang dan gembira. Keriangan dan kegembiraan itu tampak melalui lintingan tembakau yang mengepul asap di mulutnya. Tanpa mengenakan pakaian atasan, bermodalkan sebuah cangkul, bedog dan prekul beliau melakukan pekerjaan kasar penuh tantangan ini. Saya mengamatinya langsung, bukan diceritai.

Membekas di hati terdalamku sebagai cucu beliau, bahwa jangan-jangan itulah hakikat dari tanggung jawab seorang laki-laki. Yaitu secara sungguh-sungguh bekerja dalam rangka memperjuangkan kebahagiaan keluarga. Sewaktu kecil itu, aku tak sepenuhnya sadar bahwa itu adalah wujud kemurnian perjuangan. Menginjak dewasa dan hari ini aku semakin sadar bahwa itu adalah teladan tak ternilai yang pernah ku dapati.

Mbah Mustad memberikan teladan yang epik dalam hidupku, meski tidak sampai dewasa aku bersama dan menjumpainya tapi ingatanku cukup bagus untuk mengenang dan dengan jujur merawikan sedikit kisah heroiknya. Kalau dipikir-pikir, saat itu barangkali usia beliau di kisaran 70-an, tapi masih bersedia bekerja sekeras itu. Demi apa dan siapa? Silakan direnungkan.

Lalu, jika cucu-cucunya khususnya diriku kebanyakan mendahulukan sambat dan mengeluh atas keadaan saat ini. Sungguh betapa malu seharusnya diri ini. Dari Mbah Mustad, kakekku di jalur ibu aku mentasbihkan diri bahwa aku adalah seorang cucu proletariat (baca: worker class). Orang-orang pejuang kebahagiaan hidup yang tak kenal lelah sampai akhir hayatnya. Semoga ini adalah jalan menuju surga-Nya.

Alfatihah untuk Mbah Mustad, juga Ibuku. Aamiin 🤲🏽