Wednesday, December 24, 2025

Renungan: Belajarlah Menghargai Setiap Potensi Orang

Alkisah sebuah cerita dahulu kala ada seorang guru sekolah yang mengajar mata pelajaran fisika untuk SMA di sebuah sekolahan menengah negeri yang tidak terlalu favorite di kota kecil di ujung pulau Jawa, guru tersebut memiliki murid bernama Taufik.

Setiap masuk kelas pasti perawakan Taufik ini tampak dekil, jauh dari kata bersih dan rapi. Sela-sela jari kuku tangannya seringkali hitam kotor nampak sisa-sisa gemuk oli. Bajunya pun tidak jarang compang-camping lusuh berantakan tanpa seterikaan.

Saat ujian ulangan harian pun dia tidak pernah mendapatkan nilai yang bagus, mentok nilainya hanya di kisaran 40-50 saja. Di mana di saat bersamaan teman-teman yang lainnya mendapatkan nilai 90 bahkan 100. Ini ironi yang nyata dan memilukan waktu itu.

Lalu saat ada momen berdua dengan Taufik, guru tersebut bertanya apa yang membuat prestasi belajarnya jeblok. Bahkan saat diminta menjelaskan ulang apa itu hukum ohm, bagaimana korelasinya antara hambatan, tegangan, dan kuat arus. Taufik sama sekali tidak mengerti, tidak paham.

Taufik lalu menjelaskan bahwa selama ini dia lusuh compang-camping dan belepotan oli gemuk karena dia memang bantu-bantu saudaranya di bengkel untuk tambahan uang sakunya. Pernah suatu ketika saat sepeda motor temannya rusak, Taufik lah yang diandalkan untuk memperbaikinya.

Puncaknya, saat acara pelepasan kelulusan sekolah. Genset sumber listrik untuk acara puncak kepala sekolah berpidato di panggung utama tanpa sebab rusak, mati pet prepet gak nyala. Taufik lah anak yang sigap dengan jerih payahnya memperbaiki. Genset hidup kembali dan acara yang berada diujung kekacauan dapat terkendali lagi.

Taufik memang gagal secara akademik, nilainya buruk secara teori, tapi dia berhasil dan sukses dalam realita kehidupan. Dia dapat diandalkan, manfaatnya sebagai manusia bahkan melampaui teman-teman sepantarannya. Taufik lulus sekolah dengan nilai akademik yang tidak cukup memuaskan, tapi dia punya “core value”.

Suatu ketiku pula setelah beberapa tahun kelulusan itu, saat mobil guru tersebut mogok di jalanan tengah kota dan membuat kemacetan panjang. Munculah mobil bak double kabin dengan driver ganteng bersepatu safety turun menyapanya, lalu menolongnya, memperbaiki mobil itu dan menyelesaikannya.

Siapa yang keluar dari mobil bak double kabin tersebut? Dia adalah Taufik, yang dulu saat sekolah nilai akademiknya buruk. Tapi kini ia adalah pemilik “workshop mobile” bernama “TEBE JAYA” - yang artinya Taufik Eko Bahrudin Engineering JAYA”. “Bengkel berjalan” yang membantu banyak orang dan solusi atas segala permasalahan otomotif di kota itu.

Begitulah realita kehidupan, anda boleh bangga dengan nilai akademik yang anda koleksi dalam masa-masa belajar di bangku sekolah, tapi anda belum tentu mampu menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi sesama. Bahkan tidak jarang, anda dengan kesombongan nilai-nilai di atas kertas tadi, hanya menjadi sampah masyarakat di kemudian hari.

Mulai sekarang. Belajarlah menghargai potensi orang, tenang saja dan yakinlah bukan anda satu-satunya manusia yang “berdaya” itu.

Selamat pagi, selamat beraktifitas, semoga kita semua bahagia. Aamiin.

☕️

Saturday, October 18, 2025

Opini: Sebuah Cerita Dari Negeri Sakura

Cerita ini pasti sangat menyenangkan bagi pecinta narasi kebaikan, cerita tentang konsisten dan komitmennya orang Japan (nihonjin) terhadap aturan main atau rules. Tentang komitmennya pada nilai yang bernama tanggung jawab, responsibility.

Beberapa waktu lalu ada sebuah insiden di mana sistem dan jaringan otomatis pintu tol berbasis internet di Japan terjadi error, trouble yang terjadi secara masif di hampir sekitar 106 gerbang tol secara bersamaan.

Pemerintah Japan memutuskan agar gerbang tol dibuka terus untuk melancarlan traffic dan distribusi barang selama proses perbaikan oleh para insinyur mereka, waktu yang diperlukan tidak tanggung-tanggung, 38 jam perbaikan.

Sehari setengah downtime sistem gerbang tol ini terjadi. Semua pengguna jalan tol di rentang perbaikan itu dinyatakan free charge, gratis demi tidak terjadinya kendala stuck atau macet di jalanan utama mereka. Agar juga roda supply chain dan ekonomi mereka terus berputar.

Lalu apa yang terjadi? Sehari setelah insiden besar ini sebanyak tidak kurang dari 24.000 pengguna jalan tol yang melalui gate secara free tersebut tetap melakukan transaksi pembayaran melalui cara transfer. Sungguh di luar nalar. Digratiskan kok tidak mau ya?

Ini soal mentalitas, bangsa Jepang sudah berdiri setegak sekomitmen itu dengan rules. Rules yang mereka yakini sangat sederhana, kami melaluinya (highway express alias tol), kami wajib membayarnya. For all nihonjin, comply to the rules is must!

Apakah bangsa kita atau kita secara individu bisa bersikap komitmen demikian? Sulit rasanya. Kita senang dan selalu bahagia jika digratiskan, jika mendapat gratisan. Betul bukan?

Di Japan dan bagi nihonjin istilah untuk mendefinisikan nilai komitmen ini disebut sebagai “giri” yang artinya tanggung jawab, atau biasanya juga disebut sebagai “seijitsu” yang berarti ketulusan berbuat benar. Mereka sadar itu.

Mungkinkah kita bisa memiliki dan menerapkan sikap “giri” dan “seijitsu”? Rupa-rupanya sulit, sangat sulit. Bahkan barangkali super sulit, karena kita adalah? Kita adalah bangsa yang besar. Besar problemnya. Bye!

Selamat berakhir pekan ☕️

Saturday, July 12, 2025

BELAJAR: TERMAL PROSES

Hari ini saya sedang berada di Kota Bogor dalam rangka belajar dan menjalin erat linkage antara kampus dengan industri manufaktur, khususnya para pelaku industri pengolahan pangan dengan SEAFAST (South-East Asia Food and Agriculture Science and Technology Center) IPB University di kampus Baranangsiang.

Kami belajar dengan para profesor di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, salah satunya adalah Prof. Purwiyatno Hariyadi yang juga anggota Codex Alimentarius Commision. Di momen ini tentunya kami diskusi banyak perihal thermal process untuk industri pangan. Khususnya seputar sterilisasi komersil dan sedikit soal pasteurization.

Concern pembelajaran kami di kesempatan ini adalah seputar bagaimana cara menghasilkan produk pangan yang aman bagi milyaran manusia di bumi ini dengan cara proses termal. Proses termal dikenal sebagai cara yang sangat ampuh untuk merekayasa pangan sehingga aman, sehat, dan baik untuk dikonsumsi manusia.

Belajar apapun itu ternyata sangat menyenangkan, syaratnya bersedia membuka diri terhadap ilmu baru dan terus memposisikan diri sebagai gelas kosong yang dapat diisi. Jika penuh, segera lakukan pengosongan gelas tersebut sehingga ready to refill. Belajar tidak mengenal batas usia.

FYI, thermal process merupakan ilmu rekayasa pangan yang berasal dari sayembara Napoleon Bonaparte di abad 17 untuk menghasilkan pangan yang aman bagi prajuritnya. Kini, dunia yang sumber pangannya semakin menipis sementara milyaran manusia hidup di bumi, menjadikannya hal yang sangat menarik untuk dipelajari.

Friday, May 2, 2025

Pekerjaan Tetap atau Tetap Bekerja?

Ini tulisan singkat yang ditulis menurut opini pribadi dalam rangka memperingati mayday alias hari buruh 1 Mei 2025 dan diharapkan mampu memecah kebuntuan cara pandang dan kesempitan bernalar. Harapannya tentu pembaca akan tercerahkan dan memiliki harapan yang positif yang pada endingnya akan mampu hidup disertai juga dengan tingkah laku positif.

Dalam satu bahkan hampir mendekati dua dekade terakhir ini, kita paham betul iklim investasi yang konon tidak bagus di negeri ini membuat para kapitalis (pegusaha) dan pemerintah yang pro dengannya, dengan sekuat tenaga membuat regulasi bahwa model hubungan kerja terbaik adalah berbasis kontrak. Syukur-syukur alih daya. Begitu.

Kondisi ini tentu membuat banyak buruh bahkan di semua level mulai dari worker atau pelaksana hingga level managerial mengalami fase bekerja berbasis kontrak. Ada beberapa perusahaan yang secara internal cukup bagus financialnya sehingga kontrak mungkin dijadikan sebagai opsi masa penilaian awal, yang waktunya sebentar dan lalu dipermanenkan.

Tapi tidak sedikit perusahaan yang umumnya lebih senang mengklaim financialnya tidak bagus sehingga opsi hubungan kerja berbasis kontrak adalah sedapat mungkin selamanya. Sepanjang hayat si pekerja. Begitulah kira-kira teori dasarnya, maka beruntunglah generasi yang saat ini bisa berleha-leha tanpa banyak kontribusi yang dulunya dengan mudah langsung dipermanenkan. Benarkah yang demikian ini ada? Ya ndak tahu coba diamati.

Kembali lagi ke konsep judul tulisan ini. Banyak motivator yang memberikan nasihat positif berlagak romantis bahwa di zaman sekarang ini yang terpenting adalah tetap berpenghasilan, bukan berpenghasilan tetap. Katanya yang terpenting itu bukan menjadi pegawai tetap akan tetapi tetap berpenghasilan. Benarkah demikian yang realistis? Mari kita simak.

Konsep di atas ini tidak sepenuhnya salah, bahkan secara teoritis terlihat sangat benar. Tapi ada problem lain yang jarang diakui meskipun sebenarnya sangat mudah dirasakan. Konsep kapitalis memberlakukan regulasi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja berbasis kontrak ini menyisakan PR yang tak kunjung ada jeluntrungnya.

Dari sisi pengusaha memang benar, kontrak adalah bentuk perwujudan dari cara agar SDM selalu kompetifif sepanjang waktu. Tapi dari sisi pekerja, model kerja berbasis kontrak ini memunculkan isu modern hari ini bernama mental health issue. Kompetisi di tengah pekerja tidak jarang menjadikan nurani kemanusiaan menjadi pekat hitam gulita sehingga seringkali halal darah teman atau saudaranya sendiri. Terasa kan?

Mulai bisa dipahami kah arah opini ini? Ya benar, secara teori model kerja berbasis kontrak akan fully menguntungkan bagi kapitalis. Tapi fakta terpendamnya iklim kerja akibat dari regulasi itu memunculkan problem bernama high turn over dan toxic environment, yang sesungguhnya jika dipahami betul hal ini lah yang menjadi penghambat laju pertumbuhan dan perkembangan SDM. Muaranya rendahnya produktifitas.

Tapi sayang seribu sayang, realita yang tidak ketara ini seringkali diabaikan. Karena muara dari bisnis adalah cuan, uang. Maka regulasi terbaru yang dirancang di lima tahun terakhir ini justru semakin lebih parah dari sekedar itu. Sederhana saja, kalau bisa level managerial dikontrak by lembaga outsource, why not? Kira-kira begitu redaksional usulannya, dan ini akan terus diproduce oleh pihak yang berkepentingan. Yakin deh.

Lalu bagaimana menyikapi ini semua. Perbanyak piknik dan hiduplah sesantai mungkin, dalam segala aspek kehidupan. Bekerjalah untuk tetap hidup, sederhana saja. Jangan hidup untuk bekerja, nanti kalau menderita tipes atau TBC ya kalian akan diafkir dan digantikan tenaga baru. Lho berarti ini menggembosi loyalitas dong?

Ya terserah opinimu, wong opini dan sudut pandang itu sejatinya bersifat bebas merdeka. Kalau pun harus ada limitasi, ya limitasinya kan perasaan orang lain yang harus dijaga. Palingan begitu. Pesan terakhirnya, ayo jangan berhenti untuk tetap investasi leher ke atas. Kepalanya diisi dengan hal-hal baik agar laku kehidupan juga semakin mendewasa dan vibes auramu positif.

Salam dari Situbondo. Selamat hari buruh.

Robi Cahyadi (Aktif menulis dan menyuarakan opini di laman pribadi (ciyeilah) agar menghasilkan uang).

Saturday, April 26, 2025

OPINION: MALANG SHOULD BE SPLIT

In my mind and opinion, I still hope that one day Kab. Malang was expanded again into at least two new districts.

1. District South Malang (center city in Kepanjen)

2. District North Malang (center city in Singosari)

This is about accelerating of development resources, about the great potential for administrative and bureaucratic efficiency. District Malang is currently too big to be handled by one central government in Kepanjen.

3 sub-districts separated on the west side of Batu City, namely Pujon, Ngantang, and Kasembon should join the administrative area of ​​Batu City. To make it simple.

Meanwhile Dau, Karangploso, Singosari, Lawang, Jabung, Pakis, Wagir, Tumpang, Poncokusumo join North Malang Regency as new district.

The remaining dozens of sub-districts in the south of this area join South Malang Regency. Such as Ampelgading, Dampit, Turen, Tirtoyudo in the east side and Kalipare, Pagak, Donomulyo and Sumberpucung in the west side. Interesting, isn't it?

At most, the grassroots (lower class) only question, if there are two Malang districts, then which district does AREMA FC belong to? That's the most social problem. Well, it can still be mitigated from the start.

Eh, there is a suggestion from the Malang elder, my senior Mr. Yudi Widianto, that the east side also be made into its own district centered in Turen. Look okay?

Fun fact:

The largest sub-district in Malang Regency is Sumbermanjing Wetan (Sumawe) sub-district.

So does Sumawe have an opponent? Sumalon (Sumbermanjing Kulon) for example? Apparently there is, but it is not at the sub-district level. Sumalon is only at the village level in Pagak District.

Someone asked, the South Malang area is so far away from the manufacturing industry so that the poverty rate is quite high. If it is expanded, what will the southern region hope for?

Lho, lho, lho don’t worry. Where does this country's foreign exchange (TKI/TKW) come from if not South Malang? Not to mention the potential of the coastline, not to mention the sound horeg. Be optimistic about tourism, yo pora?