Tuesday, November 12, 2024

INDUSTRY: HACCP FOOD MANUFACTURING

HACCP adalah sebuah metode sistematis berbasis sains yang mengidentifikasi risiko bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya untuk memastikan keamanan dari produk pangan yang diproduksi. Berfokus pada pencegahan, HACCP dapat membantu perubahan termasuk merancang peralatan dan prosedur pengolahan.

Bahaya yang pada dasarnya ingin dikendalikan oleh sistem HACCP meliputi bahaya biologi atau mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik, serta kadang-kadang ditambahkan bahaya histamin. Hal ini biasanya disebut “peluang bahaya” akan terjadi. Tim HACCP perlu mempertimbangkan segala kemungkinan (peluang) untuk setiap bahaya yang telah diidentifikasi.

Tujuan penerapan sistem HACCP adalah mencegah atau meminimalisir terjadinya kerusakkan produksi atau ketidakamanan pangan, yang tidak mudah bila hanya dilakukan pada sistem pengujian akhir produk saja. Dengan berkembangnya HACCP menjadi standar internasional dan persyaratan wajib pemerintah, memberikan produk memiliki nilai kompetitif di pasar global. Kira-kira begitu.

Bahaya fisik yang pada umumnya ingin dikendalikan dalam sistem HACCP adalah bahaya kontaminasi benda asing (foreign objects) khususnya metal. Salah satu alat terakhir yang diinstall dan diyakini mampu untuk mendukung proses produksi yang dapat mencegah kontaminasi metal adalah metal detector. Tapi sayangnya para user seringkali tidak memahami bahwa ada satu kaidah bahwa tidak semua metal dapat dideteksi.

Dalam ilustrasi di bawah dijelaskan bahwa ada tingkat kesulitan tertentu dalam mendeteksi object metal dengan metal detector. Secara teoritis non-magnetic metals seperti stainless steel (SUS) justru yang paling sulit dideteksi oleh metal detector. Padahal justru material SUS ini yang diyakini pula paling aman dari potensi karatan (rust) sehingga dipilih sebagai material nomor wahid yang umum digunakan untuk berbagai peralatan pendukung produksi pangan. Ironically. Menarik bukan?

Monday, October 7, 2024

RELIGI: MASJID JAWA TIMUR LAWAS

Tidak ada kubah dan memang sebenarnya ndak masalah walau tidak ada, saking masyarakat kita ini mudah minder sehingga di kemudian hari dan kini masjid selalu dipasang kubah dengan reason agar seperti masjid-masjid di timur tengah dan beberapa menganggap itu bagian dari bentuk mengikuti sunnah. Entah.

Dalam foto ini, tampak masjid tua yang berada di wilayah desa Temenggungan, kecamatan Udanawu, kabupaten Blitar. Sebuah wilayah yang nyaris sejengkal dengan desa Pelas, kecamatan Kras, kabupaten Kediri. Masjid ini bernama Baiturrokhman yang berarti rumah sang pengasih. Kira-kira masjid ini berdiri sekitar tahun 50-an.

Bentukan masjid tempo dulu selalu berciri khas demikian, bentuk atapnya adalah berupa limas bertingkat atau bersusun yang menampakkan kesan tinggi dan gagah. Tidak diperlukan kubah dalam konsep pembangunan masjid di Jawa tempo dulu. Atap limasan atau tajug ini sudah menjadi ciri khas yang sebenarnya menawan lagi istimewa jika diperhatikan.

Pun begitu dengan serambinya, bagian luar yang integral dengan bangunan tengah utama masjid. Bentukannya pun berupa selasar memanjang dengan atap limasan yang kadangkala bersusun dan berkonsep joglo (tajug loro). Menambah keindahan masjid secara utuh. Ini adalah wujud mahakarya arsitekur nusantara.

Pada dasarnya, konsep umum masjid Jawa tempo dulu adalah menjadikan ruang utama masjid terbagi dua, sebelah kiri untuk jamaah laki dan kanan untuk jamaah perempuan. Adapun serambi masjid Jawa tempo dulu pada umumnya dipergunakan untuk berbagai aktifitas seperti halnya mengaji, rapat takmir dan atau acara-acara keagamaan lainnya.

Kemudian dengan kamar mandi sekaligus tempat wudhlu di sebelah kiri untuk jamaah laki, pun begitu dengan sebelah kanan yaitu kamar mandi dan tempat wudhlu untuk jamaah perempuan. Kentongan besar dan bedug yang khas dari kulit sapi pada umumnya diinstal di pojok serambi masjid, bisa di kiri atau di kanan. Sangat indah.

Halaman masjid di kampung-kampung pedesaan Jawa yang mayoritas cukup luas tentunya dapat dijadikan berbagai fungsi positif bagi jamaahnya. Mulai dari fungsi lahan parkir, lahan pengajian umum tahunan, lahan untuk agenda rutin tahunan seperti saat merayakan malam takbiran atau sebagai lokasi penyembelihan hewan qurban saat Idul Adha datang. Begitu kira-kira gambaran umumnya.

Namun dewasa ini, akibat pengaruh pemahaman beragama yang semakin luas dan global. Pembangunan masjid baru-baru ini sudah tidak lagi menggunakan konsep limasan berserambi seperti nampak pada foto ini. Kini masyarakat umumnya lebih menyukai desain ketimur-tengahan, desain kotak dengan atap berkubah besar adalah impian masyarakat hampir di banyak wilayah.

Begitu kira-kira sekelumit wajah baru perubahan sosial budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Diakui atau tidak, perlahan pola sosial dan budaya masyarakat selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tentunya penulis berharap masjid klasik nan indah seperti masjid Baiturrokhman di foto ini, masih terus eksis di tengah gempuran arsitektur timur tengah yang katanya lebih modern itu.

Pelas, Kras, Kediri, September 2024

Sunday, September 8, 2024

FAMILY: AKU ADALAH CUCU PROLETARIAN

Kakekku dari garis ibu bernama Mustad, beliau adalah anak dari Mbah Sonorejo yang asal usulnya dari daerah Kedungwaru, Tulungagung. Aku tidak pernah tahu secara detail tentang Mbah Sonorejo, yang aku tahu dari cerita ibu, beliau adalah kakek ibuku yang artinya beliau adalah mbah buyutku.

Meski begitu, yang cukup banyak ku ketahui adalah tentang kakekku dari jalur ibu, beliau bernama Mbah Mustad. Aku masih cukup ingat betul tentang masa tua beliau mengingat beliau dipanggil menghadap Tuhan YME saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar di mana di usia itu ingatan dan kesadaranku sudah cukup baik karena mendekati aqil baligh.

Mbah Mustad adalah piyantun alit sosok yang sangat bersahaja dan pekerja keras, sebagai seorang generasi yang lahir sebelum negeri ini merdeka tentu Mbah Mustad telah banyak mengalami liku kehidupan yang sangat getir juga pahit. Beliau menikahi nenekku Mbah Yupiatun dan setidaknya saat ini tercatat sudah memiliki puluhan cucu termasuk aku, sarjana teknik mesin yang kini menjadi kelas pekerja.

Menurut keterangan ibuku, Mbah Mustad sedari muda sangatlah tampan untuk ukuran orang zaman itu. Perawakannya tinggi dan hidungnya sangat mancung. Mbah Mustad bekerja sangat keras layaknya orang Jawa pada umumnya, beliau bekerja menggarap ladangnya sendiri dan tentunya juga menjadi buruh bagi majikan atau para tuan tanah di desa masa kecilku. Menggarap sawah sendiri sekaligus menjadi buruh ini lumrah dilakukan oleh orang yang sawahnya memang sepetak saja, kira-kira begitu kiasannya.

Pada suatu sore saat aku hendak berangkat mengaji di TPQ yang ada di desaku, tepatnya di rumahnya H. Jamil Mustofa. Aku tidak sengaja bertemu dengan Mbah Mustad, mbahku yang sedang ku narasikan dalam tulisan pendek ini. Saat melalui sebuah jalan kecil yang biasa kami sebut dengan “dalan etan” di desaku, menuju TPQ tepatnya di kebun nanas samping selatan rumahnya Pak H. Wahid juragan kecap, Mbah Mustad bekerja di sore hari yang rindang di sana.

Apa yang dikerjakan oleh beliau? Beliau bekerja mendongkel oyot barongan (akar pohon bambu). Ini tentu adalah pekerjaan super berat, heavy duty work. Mustahil hari ini anak muda yang gagah berotot sekalipun berani mengambil job membongkar oyot barongan. Ada banyak resiko dalam pekerjaan ini, resiko terburuk adalah tidak pernah tahu apakah ada ular berbisa yang sewaktu-waktu menyerang atau barangkali jin penghuni barongan marah dan menyurupinya.

Di usianya yang tidak lagi muda, Mbah Mustad melakukan pekerjaan ini dengan riang dan gembira. Keriangan dan kegembiraan itu tampak melalui lintingan tembakau yang mengepul asap di mulutnya. Tanpa mengenakan pakaian atasan, bermodalkan sebuah cangkul, bedog dan prekul beliau melakukan pekerjaan kasar penuh tantangan ini. Saya mengamatinya langsung, bukan diceritai.

Membekas di hati terdalamku sebagai cucu beliau, bahwa jangan-jangan itulah hakikat dari tanggung jawab seorang laki-laki. Yaitu secara sungguh-sungguh bekerja dalam rangka memperjuangkan kebahagiaan keluarga. Sewaktu kecil itu, aku tak sepenuhnya sadar bahwa itu adalah wujud kemurnian perjuangan. Menginjak dewasa dan hari ini aku semakin sadar bahwa itu adalah teladan tak ternilai yang pernah ku dapati.

Mbah Mustad memberikan teladan yang epik dalam hidupku, meski tidak sampai dewasa aku bersama dan menjumpainya tapi ingatanku cukup bagus untuk mengenang dan dengan jujur merawikan sedikit kisah heroiknya. Kalau dipikir-pikir, saat itu barangkali usia beliau di kisaran 70-an, tapi masih bersedia bekerja sekeras itu. Demi apa dan siapa? Silakan direnungkan.

Lalu, jika cucu-cucunya khususnya diriku kebanyakan mendahulukan sambat dan mengeluh atas keadaan saat ini. Sungguh betapa malu seharusnya diri ini. Dari Mbah Mustad, kakekku di jalur ibu aku mentasbihkan diri bahwa aku adalah seorang cucu proletariat (baca: worker class). Orang-orang pejuang kebahagiaan hidup yang tak kenal lelah sampai akhir hayatnya. Semoga ini adalah jalan menuju surga-Nya.

Alfatihah untuk Mbah Mustad, juga Ibuku. Aamiin 🤲🏽

Sunday, August 18, 2024

INDUSTRY: MENTAL SILO PENGHAMBAT BISNIS

Adakah rekan kerjamu yang cenderung enggan berbagi informasi seputar pekerjaan atau urusan kantor? Atau, apakah malah kamu yang cenderung bersikap seperti itu? Hati-hati, ini adalah pertanda dari silo mentality.


Mental seperti ini biasanya muncul dari rasa kompetitif di antara rekan kerja. Sayangnya, memiliki mental seperti ini dapat memberi dampak buruk bagi pekerjaan. Bahkan lebih luas lagi bagi bisnis perusahaan secara umum.


Lebih buruknya lagi, mental ini juga dapat memberi efek negatif pada budaya kerja di perusahaan, lho. Percaya atau tidak budaya mental silo ini sangat destruktif bagi pelakunya dan banyak pihak di lingkungannya.


Apa saja ciri-cirinya dan bagaimana cara menghindarinya? Yuk, cari tahu selengkapnya dalam artikel berikut!


Definisi Silo Mentality


Menurut Investopedia, silo mentality adalah keengganan untuk berbagi informasi dengan karyawan dari divisi yang berbeda di dalam perusahaan yang sama.


Kata silo awalnya mengacu pada wadah penyimpanan hasil pertanian. Namun, istilah ini sekarang digunakan sebagai metafora untuk entitas terpisah yang menyimpan informasi tertentu.


Dalam bisnis, silo mengacu pada divisi yang beroperasi secara independen dan menghindari berbagi informasi.


Ini juga mengacu pada bisnis yang departemennya memiliki aplikasi sistem silo, di mana informasi tidak dapat dibagikan karena keterbatasan sistem.


Umumnya, mental silo ini terjadi akibat kompetisi antar manajer yang kemudian menyeret anggota timnya. Akibatnya, lingkungan dan budaya kerja dapat berubah menjadi toxic.


Mental seperti ini juga memberi dampak negatif pada politik kantor.


Dampak silo mentality


Dikutip dari Indeed, jika tidak segera diatasi, berikut adalah beberapa dampak dari silo mentality di tempat kerja.


1. Mengurangi produktivitas

Salah satu dampak dari tumbuhnya mental silo dalam budaya kerja adalah adanya perbedaan kepentingan individu dan perusahaan.


Adanya perbedaan cara pikir dan kepentingan inilah yang mengakibatkan berkuranganya produktivitas kerja.


Jika setiap divisi hanya berfokus kepada kepentingannya masing-masing, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.


2. Menurunnya moral

Pekerja dengan mental silo akan merasa frustasi karena kurangnya komunikasi dan terjadinya persaingan tidak sehat antar divisi serta manajemen.


Penurunan moral ini juga berdampak pada berkurangnya kinerja serta meningkatnya kemungkinan resign.


3. Berkurangnya kepuasan pelanggan

Cara berpikir silo atau silo thinking bukan hanya berdampak pada internal perusahaan melainkan juga eksternal atau pihak klien/pelanggan.


Kurangnya kolaborasi antar tim produk dan layanan yang tidak maksimal, sehingga konsumen jadi tidak puas.

Sunday, August 4, 2024

RELIGI: FENOMENA JILBAB DI KALANGAN PELAJAR

Oleh: Robi Cahyadi

Tulisan singkat ini penulis dedikasikan untuk diri sendiri yang sedang resah dan berkecamuk dalam pikiran tentang fenomena masifnya pengenaan jilbab di kalangan pelajar. Tidak ada tendensi apapun dalam tulisan ini selain otokritik atas pemahaman penulis terkait jilbab di kalangan pelajar dewasa ini.

Dalam konsistensi pemahaman penulis, jilbab adalah uniform yang seharusnya tidak wajib dikenakan oleh pelajar level sekolah dasar, menengah pertama hingga menengah atas. Penulis tidak mengharapkan sanggahan atas pemahaman ini karena hemat penulis ini adalah fundamental dalam kaidah kemerdekaan berpikir.

Penulis mencoba flashback sekitar lima belas tahun lalu di era sekolah menengah penulis. Di waktu itu penulis mengalami dengan sendiri bahwa secara faktual penggunaan jilbab di kalangan pelajar adalah minoritas. Mayoritasnya pelajar di era itu tidak mengenalan jilbab. Barangkali hanya pelajar Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah yang mengenakannya karena tuntutan regulasinya.

Akan tetapi untuk pelajar sekolah negeri atau pun swasta yang sekolahnya tidak terafiliasi pada Depag (Departemen Agama) dan Islam tidak diatur tentang pengenaan jilbab. Pelajar waktu itu bebas memilih uniform yang ia kenakan tentunya tetap dengan requirements yang sekolah tetapkan.

Dewasa ini, saat penulis amati dengan seksama ternyata budaya lima belas tahun yang lalu itu sudah bergeser. Culture saat ini adalah manjadikan jilbab sebagai uniform normal di semua jenjang sekolah. Bahkan jika boleh claim, saat ini justru sebaliknya yaitu yang berjilbab menjadi mayoritas dan yang non jilbab menjadi minoritas.

Apakah ini pertanda baik? Dari mana justifikasi bahwa ini adalah pertanda baik? Dua pertanyaan dasar ini akan sangat sulit dijawab seketika karena memerlukan perdebatan argumen dan perselisihan pemahaman yang tentunya tidak mudah diadili siapa yang berada dalam posisi benar.

Pada faktanya, hari ini sudah berbeda dengan lima belas atau bahkan dua puluh tahun lalu. Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa perubahan culture dalam masyarakat itu nyata adanya dan kita dituntut untuk agile atas kondisi itu. Penulis lebih memilih kata agile dibanding adaptif, karena adaptif lebih permisif dibanding agile.

Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang membuat fenomena perubahan culture ini terjadi di tengah masyarakat? Tentu tidak lain tidak bukan adalah pemahaman atau firkah (pemikiran) akan suatu value dalam kehidupan beragama. Barangkali masyarakat atau umat saat ini semakin sadar bahwa jilbab adalah kewajiban? Ini pun menurut penulis sangat debatable.

Kembali ke soal sejarah perubahan budaya dalam uniform pelajar. Kita coba runut ke belakang lebih jauh. Kita mahfum di era pra-kemerdekaan yaitu eranya Kartini, bagaimana uniform pelajar pribumi waktu itu? Pakai kebaya yang dibarengi masih memperlihatkan kemolekan tubuh waktu itu barangkali sudah sangat sopan dan penuh value. Betul?

Kemudian setelah era post-kemerdekaan yaitu era orde lama dan order baru, jika kita amati foto-foto orang tua khususnya ibu kita (barangkali) saat jadi pelajar. Mereka mayoritas mengenakan uniform rok pendek dan tanpa jilbab. Sekali lagi, sampai berakhirnya orde baru style-nya masih demikian dan ini menjadi uniform mayoritas.

Pergeseran mulai merangkak terjadi di era reformasi, setelah tumbangnya rezim orde baru. Berbagai arus informasi yang keluar masuk di negeri ini menjadikan masyarakat kita kaya akan firkah (pemikiran atau pandangan). Salah satunya yang giat menginfiltrasi umat adalah pandangan agamawan bahwa jilbab adalah suatu kewajiban.

Di titik inilah mula dari perubuhan culture yang penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini. Kekuatan giringan pandangan ini lah yang menjadikan pelajar hari ini baik di sekolah negeri atau swasta yang tidak terafiliasi pada islam sekalipun ikut terbawa arus deras yang penulis sebut sebagai “fenomena perubahan”. Ya, hari ini jilbab dipakai hampir di segala jenjang sekolah.

Bahkan tidak sedikit juga pelajar yang sebenarnya non-muslim dan tidak ingin mengenakan jilbab atau pelajar islam sekalipun yang ekspektasinya adalah merdeka dalam pemilihan uniform, menjadi terpaksa mengikuti gerakan perubahan culture yang dikomandoi oleh mayoritas. Yaitu berjilbab di sekolah dan akan tetapi menanggalkannya saat di kehidupan luar sekolah.

Sekali lagi, seperti yang penulis jelaskan di awal bahwa ini adalah otokritik atas pemikiran penulisan pribadi. Bahwa ternyata the power of majority movement itu benar nyata adanya. Yang minoritas seringnya akan kalah terseret arus oleh yang mayoritas. Terlepas itu hanya trend dan masifnya pengenaan jilbab oleh pelajar di semua jenjang sekolah tidak selalu linier dengan kebaikan akhlaknya.

Apakah pernah diukur secara kuantitatif dan kualitatif untuk obyektif menyimpulkan bahwa kalimat terakhir tepat di paragraf atas barusan terbukti? Boleh untuk direnungkan. Yang pasti, penulis tidak cukup mampu berlogika dan bernalar jika ada sekolah negeri milik pemerintah yang tidak terafiliasi pada ajaran agama tertentu, yang seharusnya netral dari pewajiban berjilbab lantas membuat regulasi mewajibkan. Semoga tidak ada yang demikian.

Waallahualam bhissowab.

Malang, 25 Juni 2024